Sabtu, 10 Januari 2015

Bagaimanakah kebebasan berekspresi yang dimaksud barat ???

Penyerangan atas kantor redaksi Charlie Hebdo di Paris, Rabu, 7 Januari 2015, terhadap 12 orang diduga akibat media tersebut kerap menampilkan gambar karikatur satir tentang Nabi Muhammad. Tak lama setelah kejadian ini, berbagai elemen dari seluruh negara menyampaikan kecamannya.
Seperti dilansir bbc.co.uk/indonesia, Gedung Putih menyatakan kecaman atas serangan di kantor Charlie Hebdo. “Ini bukan hanya serangan terhadap rakyat Prancis, ini serangan terhadap nilai-nilai dasar yang kita anut di negara ini – kebebasan berbicara, kebebasan berekspresi dan kebebasan pers.” juru bicara Gedung Putih, Josh Earnest.
Tak hanya Gedung Putih, Presiden Amerika Serikat,  Barack Obama, pun secara langsung menyatakan kecaman. Dikatakannya, serangan Paris itu sebagai “visi kebencian para pembunuh.” Kanselir Jerman, Angela Merkel yang mengatakan serangan terhadap Charlie Hebdo sangat mengerikan. Begitu juga dengan yang dikatakan Wali Kota Paris Anne Hidalgo, mengeluarkan pernyataan melalui Facebook, mengecam serangan terhadap kantor Charlie Hebdo.
Inti dari seluruh kecaman menggambarkan bahwa penyerangan ini adalah tindakan barbar. Tapi, sejatinya semua ini tak lebih menggambarkan lakon memuakkan Barat yang liberal. Barat senantiasa menggunakan standar ganda.
Di satu sisi, mata dan mulut mereka berteriak keras memberikan kecaman atas penyerangan Charlie Hebdo, namun di saat yang bersamaan mereka menutup mata, telinga, dan mulutnya atas penyerangan Amerika di Irak, Afghanistan, Pakistan, dan Palestina yang hingga saat ini masih terus berlanjut dan telah menghilangkan jutaan nyawa umat Islam.
Pembelaan bertubi-tubi pun mengalir untuk Charlie Hebdo dengan alasan membela faham kebebasan. Memang benar, Charlie Hebdo dengan bebasnya berulang kali menampilkan karikatur satir menghina Islam, dengan anggapan bahwa apa yang mereka lakukan adalah semata wujud dari kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Kebebasan yang pada kenyataannya malah menghina keyakinan suci umat Islam. Seakan umat Islam tidak diperbolehkan mengekspresikan rasa marahnya, pun ketika Nabi Muhammad saw dihina; sementara yang memiliki hak untuk mengekspresikan rasa marah hanyalah Barat.
Standar Ganda Barat
Kita menyaksikan bagaimana parahnya ide kebebasan ini dipraktekkan oleh Barat. Prancis melarang para muslimah di sana mengenakan purdah, padahal bukankah hal ini adalah bagian dari kebebasan berekspresi?
Di Belanda, penyembelihan sapi dengan cara Islam dilarang, pembangunan menara masjid di Swiss juga dilarang.
Kebebasan berekspresi yang mereka agung-agungkan itu nampaknya tidak berlaku bagi umat Islam ketika menjalankan ibadah. Tidak terlalu berlebihan kiranya bila kemudian kita menilai bahwa kebebasan ini hanya dijadikan alat bagi Barat untuk melanggangkan kepentingannya, tetapi bukan untuk kebebasan mengaktualisasikan Islam.
Lalu, siapakah yang sebenarnya lebih sering menebarkan teror dan melakukan kekerasan? Mari kita lihat pembantaian di Palestina masih berlanjut, atas restu siapa? Begitu juga dengan pesawat tanpa awak Amerika menyerang perbatasan Pakistan-Afghanistan, ribuan orang tewas dan masih akan terus bertambah jumlahnya.
Bagaimana dengan kondisi Irak saat ini, siapa yang menghancurkannya? Pencarian senjata pemusnah massal yang menjadi alasan Amerika menginvasi Irak pada tahun 2003, ternyata tidak terbukti keberadaannya.
Namun akibat invasi ini, 1.5 juta orang tewas, Irak hancur berantakan baik secara sosial, politik, juga ekonomi. Bush yang saat itu memerintahkan untuk menyerang Irak, kini hidup tenang menikmati masa pensiunnya.
Bagaimana bisa seorang presiden yang memerintahkan menghancurkan sebuah negara bisa bebas begitu saja? Lalu siapa sebenarnya yang layak untuk disebut teroris dan penebar kekerasan? Wallahu’alam.
sumber : https://www.islampos.com/kebebasan-berekspresi-dan-standar-ganda-barat-157590/

Antara Zakat, Infak dan Sedekah

“DAN belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik” (Q.S. Al-Baqarah 2:195)
Dalam istilah membelanjakan harta dijalan Allah, tersebutlah tiga ibadah yaitu zakat, infak, dan sedekah. Meskipun seperti sama, beberapa ibadah tersebut ternyata memiliki makna masing-masing yang agak sedikit berbeda.
Zakat adalah nama bagi sejumlah harta tertentu yang telah mencapai syarat tertentu yang diwajibkan oleh Allah untuk dikeluarkan dan diberikan kepada yang berhak menerimanya dengan persyaratan tertentu pula.
Setiap harta yang sudah dikeluarkan zakatnya akan menjadi suci, bersih, baik, berkah, tumbuh, dan berkembang (at-Taubah: 103, dan ar-Rum: 39).
  1. Persyaratan harta yang wajib dizakatkan itu:
    Harta itu dikuasai secara penuh dan dimiliki secara sah, yang didapat dari usaha, bekerja, warisan, atau pemberian yang sah, dimungkinkan untuk dipergunakan, diambil manfaatnya, atau kemudian disimpan. Di luar itu, seperti hasil korupsi, kolusi, suap, atau perbuatan tercela lainnya, tidak sah dan tak akan diterima zakatnya. HR Muslim, Rasulullah bersabda bahwa Allah SWT tidak akan menerima zakat/sedekah dari harta yang ghulul (didapatkan dengan cara batil).
  2. Harta yang berkembang jika diusahakan atau memiliki potensi untuk berkembang, misalnya harta perdagangan, peternakan, pertanian, deposito mudharabah, usaha bersama, obligasi, dan lain sebagainya.
  3. Telah mencapai nisab, harta itu telah mencapai ukuran tertentu. Misalnya, untuk hasil pertanian telah mencapai jumlah 653 kg, emas/perak telah senilai 85 gram emas, perdagangan telah mencapai nilai 85 gram emas, peternakan sapi telah mencapai 30 ekor, dan sebagainya.
  4. Telah melebihi kebutuhan pokok, yaitu kebutuhan minimal yang diperlukan seseorang dan keluarganya yang menjadi tanggungan nya untuk kelangsungan hidupnya.
  5. Telah mencapai satu tahun (haul) untuk harta-harta tertentu, misalnya perdagangan. Akan tetapi, untuk tanaman dikeluarkan zakatnya pada saat memanennya (Q.S. Al-An’am: 141).
Perbedaan antara infak, zakat dan sedekah :
Infak berarti mengeluarkan sebagian dari harta atau pendapatan/ penghasilan untuk suatu kepentingan yang diperintahkan ajaran Islam.
Jika zakat ada nisabnya, infak tidak mengenal nisab. Jika zakat harus diberikan pada mustahik tertentu (8 asnaf) maka infak boleh diberikan kepada siapapun juga, misalnya untuk kedua orangtua, anak yatim, dan sebagainya (Q.S. Al-Baqarah: 215).
Infak dikeluarkan oleh setiap orang yang beriman,baik yang berpenghasilan tinggi maupun rendah, apakah ia di saat lapang maupun sempit (Q.S Ali Imran: 134)
Pengertian sedekah sama dengan pengertian infak,termasuk juga hukum dan ketentuan-ketentuannya. Hanya saja, jika infak berkaitan dengan materi, sedekah memiliki arti lebih luas, menyangkut hal yang bersifat non materiil. Seperti halnya, senyum saja bisa menjadi sedekah.
  1. Muslim dari Abu Dzar,Rasulullah menyatakan bahwa jika tidak mampu bersedekah dengan harta maka membaca tasbih, membaca takbir, tahmid, tahlil, berhubungan suami-isteri,dan melakukan kegiatan amar ma’ruf nahi munkar adalah sedekah.
Seringkali kata-kata sedekah dipergunakan dalam Al Qur’an, tetapi maksud sesungguhnya adalah zakat, (Q.S At-Taubah: 60 dan 103).
Jika seseorang telah berzakat tetapi masih memiliki kelebihan harta, sangat dianjurkan sekali untuk berinfak atau bersedekah.
Berinfak adalah ciri utama orang yang bertakwa (al-Baqarah: 3 dan Ali Imran: 134), ciri mukmin yang sungguh-sungguh imannya (al-Anfal: 3-4), ciri mukmin yang mengharapkan keuntungan abadi (al-Faathir: 29). Berinfak akan melipatgandakan pahala di sisi Allah (al-Baqarah: 262).
“Dan demikianlah Kami terangkan ayat-ayat Al Qur’an, (supaya jelas jalan orang-orang yang saleh) dan supaya jelas (pula) jalan orang-orang yang berdosa. (Q.S.Al An’am 6: 55).
[ds/islampos/salamsalam]

Rabu, 07 Januari 2015

Hukum Memajang Foto Makhluk Bernyawa

BAGAIMANA hukum mengenai menggambar atau memajang foto bernyawa? Dalam berbagai hadits dilarang bagi kita untuk memajang gambar makhluk bernyawa.
Gambar yang terlarang dibawa ini adalah gambar manusia atau hewan, bukan gambar batu, pohon dan gambar lainnya yang tidak memiliki ruh. Jika gambar tersebut memiliki kepala, maka diperintahkan untuk dihapus.
Karena kepala itu adalah intinya sehingga gambar itu bisa dikatakan memiliki ruh atau nyawa. Agar lebih jelas perhatikan terlebih dahulu hadits-hadits yang menerangkan hal tersebut. Hanya Allah yang beri taufik.
Keterangan dari hadits
Dalam hadits muttafaqun ‘alaih disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لاَ تَدْخُلُ بَيْتًا فِيهِ صُورَةٌ
“Para malaikat tidak akan masuk ke rumah yang terdapat gambar di dalamnya (yaitu gambar makhluk hidup bernyawa)”
Pelajaran dari hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu , menunjukkan bahwa yang dimaksud gambar yang terlarang dipajang adalah gambar makhluk bernyawa (yang memiliki ruh) yaitu manusia dan hewan, tidak termasuk tumbuhan. Sisi pendalilannya bahwa Jibril menganjurkan agar bagian kepala dari gambar tersebut dihilangkan, barulah beliau akan masuk ke dalam rumah.
Ini menunjukkan larangan hanya berlaku pada gambar yang bernyawa karena gambar orang tanpa kepala tidaklah bisa dikatakan bernyawa lagi.
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan dalam kesempatan yang lain bahwa gambar makhluk bernyawa boleh dibawa jika darurat. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin ditanya, “Dalam majelis sebelumnya, engkau katakan bahwa boleh membawa gambar dengan alasan darurat. Mohon dijelaskan apa yang jadi kaedah dikatakan darurat?”
Syaikh rahimahullah menjawab, “Darurat yang dimaksud adalah semisal gambar yang ada pada mata uang atau memang gambar tersebut adalah gambar ikutan yang tidak bisa tidak harus turut serta dibawa atau keringanan dalam qiyadah (pimpinan).
Ini adalah di antara kondisi darurat yang dibolehkan. Orang pun tidak punya keinginan khusus dengan gambar-gambar tersebut dan di hatinya pun tidak maksud mengagungkan gambar itu. Bahkan gambar raja yang ada di mata uang, tidak seorang pun yang punya maksud mengagungkan gambar itu,” (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 33)
Penjelasan hukum dalam tulisan di atas semata-mata berdasarkan dalil dari sabda Nabi kita Muhammadshallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan atas dasar logika semata. Semoga Allah menganugerahkan sifat takwa sehingga bisa menjauhi setiap larangan dan mudah dalam melakukan kebaikan.
Namun dalam pembahasannya islam membolehkan menggambar atau memajang sesuatu ciptaannya tanpa ada mengagungkan lebih dari ciptaan-Nya.[]
Sumber : www.rumaysho.com

Jumat, 02 Januari 2015

SEJARAH MAULID NABI

Bulan Rabiul Awwal merupakan bulan di mana nabi yang paling agung, nabi yang membawa risalah terakhir dilahirkan. Hampir sebagian umat Islam khususnya di Indonesia merayakan hari lahirnya sang pembawa cahaya, yang mengeluarkan umatnya dari zaman kegelapan hingga zaman terang benderang.
Kebanyakan umat Islam merayakannya sebagai ungkapan rasa syukur dan rasa cinta yang begitu besar kepada Nabi SAW. Namun, yang perlu kita ketahui pernahkah generasi awal merayakan maulid nabi. Yang sudah tentu kita tahu, bahwa generasi awal (salafussholeh) adalah generasi yang paling dekat dengan Nabi SAW. Dan mereka yang paling tahu apa yang diingikan Nabi SAW. Karena meraka selalu hidup berdampingan dengan nabi sepanjang hayatnya.
Oleh karena itu, kita dituntut untuk tahu sejarah awal mula dirayakannya maulid Nabi SAW. Karena sesuatu perkerjaan yang tidak didasarkan atas ilmu maka akan sia sia. Sebagaimana Rasullah bersabda:
“من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد”
“Barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka perbuatan tersebut tertolak,” (HR. Muslim).
Ada beberapa pendapat tentang asal mula maulid Nabi SAW. Pendapat pertama mengatakan bahwa Sholahuddin Al Ayubi yang pertama kali memulai perayaan maulid karena melihat kondisi muslimin pada waktu itu semakin jauh dengan sunah-sunah Rasullah SAW. Sedangkan para tentara salibis setiap saat siap untuk menyerang pasukan muslimin dalam sekali hantaman. Dan dengan ijtihad beliau mengadakan maulid Nabi SAW agar menumbuhkan sunah-sunah yang mulai memudar dari tubuh muslimin dan semangat juang dalam menegakkan kalimatullah.
Sedangkan pendapat kedua para ahli sejarah seperti Ibn Khallikan, Sibth Ibn al-Jauzi, Ibn Kathir, al-Hafizh al-Sakhawi, al-Hafizh al-Suyuthi dan lainnya telah bersepakat menyatakan bahwa orang yang pertama kali mengadakan peringatan maulid adalah Sultan al-Muzhaffar, bukan Shalahuddin al-Ayyubi.
Sebagaimana yang ditulis oleh ibn Khallikan dalam kitabnya Wafayat Al-A`yan menceritakan bahwa Al-Imam Al-Hafizh Ibn Dihyah datang dari Maroko menuju Syam dan seterusnya ke Irak. Ketika melintasi daerah Irbil pada tahun 604 Hijriah, beliau mendapati Sultan Al-Muzhaffar, raja Irbil tersebut sangat besar perhatiannya terhadap perayaan Maulid Nabi.
Imam Suyuthi dalam kitabnya Husn Al-Maqosid fi Amal Al-Maulid menerangkan bahwa orang yang pertama kali menyelenggarakan maulid Nabi adalah Sultan Al-Muzhaffar, penguasa dari negeri Irbil yang terkenal loyal dan berdedikasi tinggi. Mudzorofah pernah menghadiahkan sepuluh ribu dinar kepada Syekh Abu Al-Khatib Ibnu Dihyah yang telah berhasil menyusun sebuah buku riwayat hidup dan risalah Rasulullah dengan judul At-Tanwir fi Maulid Al-Basyir Al-Nazir.
Pada masa Abbasiyah, sekitar abad kedua belas masehi, perayaan maulid Nabi dilaksanakan secara resmi yang dibiayai dan difasilitasi oleh khalifah dengan mengundang penguasa lokal. Acara itu diisi dengan puji-pujian dan uraian maulid Nabi, serta dilangsungkan dengan pawai akbar mengelilingi kota diiringi pasukan berkuda dan angkatan bersenjata.
Sedangkan pendapat yang ketiga para ahli sejarah seperti Al Maqriziy serta mufti mesir Asy Syaikh Bakhit Al Muti’iy dan juga Asy Syaikh ‘Ali Mahfuzh mengatakan bahwa kelompok yang pertama kali mengadakan maulid Nabi SAW adalah Firqoh sesat Syiah Ubaidiyyun pada dinasti fatimiyah sebagaimana yang beliau tuliskan pada kitabnya Al Ibda’ fi Madhoril Ibtida’.
Dari beberapa pendapat kita dapat menyimpulkan bahwa perayaan maulid tidak dilaksanakan di masa Rasulullah dan sahabatnya. Tidak juga di masa tabi’in, tabi’ut tabi’in dan empat Imam Madzhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad), padahal mereka adalah orang-orang yang sangat cinta dan mengagungkan Nabinya. Dan sebaliknya bahwa perayaan maulid baru dimulai pada masa mamalik (kerajaan) sekitar abad ke-7 Hijriyah di saat firqoh-firqoh sesat subur berkembang di masa itu. Wallahu a’lam. []

sumber : https://www.islampos.com/berdasarkan-pendapat-ahli-sejarah-ini-awal-mula-perayaan-maulid-nabi-155751/ 


Rabu, 17 Desember 2014

FAKULTAS-FAKULTAS DI UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
SYARIAH
ADAB
TARBIYAH
FISHUM
SAINTEK
USHULUDIN
DAKWAH

Sabtu, 11 Oktober 2014

Pengelompokan Keilmuan Islam Dalam Bayani Burhani dan Irfani

BAB I
PENDAHULUAN


1.1  LATAR BELAKANG MASALAH

Ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi kunci yang paling mendasar dari kemajuan yang diraih umat manusia, tentunya tidak datang begitu saja tanpa ada sebuah dinamika atau pengembangan ilmiah. Proses untuk mendapatkan ilmu pengetahuan itulah dikenal dengan istilah epistemologis. Lebih lanjut Ahmad Tafsir mengungkapkan bahwa Epistemologi membicarakan sumber ilmu pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh ilmu pengetahuan.[1]
Metode ilmiah yang dikembangkan oleh para pemikir muslim berbeda secara signifikan dengan metode yang dikembangkan oleh para pemikir barat. Sebab, seperti pernah dikatakan Ziaudin Sardar, sementara para ilmuanbarat menggunakan hanya satu macam metode ilmiah, yaitu metode observasoi, para pemikir muslim menggunakan tiga macam metode sesuai dengan tingkat atau hiererki objek-objeknya, yaitu
(1) Bayani atau observasi,
(2) Burhani atau Logis,
(3) Irfani atau intuitif,
yang masing-masing bersumber pada indra, akal, dan hati.[2]

1.2  RUMUSAN MASALAH
1.        Apa sebenarnya yang dimaksud dengan epistemologi bayani, burhani dan irfani?
2.      Bagaimana penerapan epistimologi bayani, burhani dan irfani ?
3.      Apa saja keunggulan dan keterbatasan epistemologi bayani, burhani dan irfani
1.3  TUJUAN PENELITIAN
  1. 1.      Mengetahui maksud dengan metode bayani, burhani, dan irfani
  2. 2.      Mengetahui manfaat penerapan epistimologi bayani, burhani dan irfani
  3. 3.      Mengetahiu kelebihan dan kelemahan ketiga metode tersebut.



1.4  MANFAAT PENELITIAN

  1. 1.      Memberikan pemahaman maksud metode bayani, burhani dan irfani
  2. 2.      Memberikan manfaat penerapan epistimologi bayani, burhani dan irfani
  3. 3.      Memberikan kelebihan dan kelemahan ketiga metode tersebut.

1.5  RUANG LINGKUP MASALAH
Ruang lingkup masalah sebatas menjelaskan penerapan keilmuan islam dalam rumpun bayani, burhani dan irfani

1.6  METODE DAN TEKNIK PENELITIAN

  1. 1.      Deskriptif
  2. 2.      Studi pustaka


BABA II
PEMBAHASAN

             A.  Pengertian Bayani, Burhani dan Irfani
Menurut para ilmuan Muslim, manusia memiliki tiga macam sumber “alat” untuk menengkap keseluruhan realitas : panca indra, akal, dan intuisi (meliputi wahyu). Sementara di lain sisi, para ilmuan barat modern pada dasarnya hanya mengakui indra. Dengan hanya mengakui indra, mereka mengembangkan hanya satu metode penelitian saja, yaitu metode observasi, atau eksperimen indrawi. Metode observasi ini memang terus dikembangkan sampaitingkat yang canggih, tetapi semuanya tetap bermuara pada penerapan indrawi.[3]
Berbeda dengan ilmuwan-ilmuwan barat, ilmuwan-ilmuwan muslim mengakui keabsahan bukan hanya metode observasi, tetapi juga metode rasional (burhan) dan intuitif (irfani). Dengan kata lain, mereka mengakui bukan hanya persepsi indrawi dalam proses pengetahuan, tetapi juga nalar akal dan persepsi hati.
Selain panca indra, sarjana-sarjana muslim juga mengakui akal sebagai alat untuk menangkap realitas. Dari sini mereka mengembangkan apa yang disebut sebagai metode rasionel-demonstratif (burhan). Seperti indra dapat menangkap objek indrawi, maka akal dapat menangkap objek sepiritual atau metafisik secara logistik, yakni menarik kesimpulan tentang hal-hal yang tidak diketahui dari hal-hal yang telah diketahui.
Dengan cara inilah manusia dapat melakukan refleksi dan penelitian terhadapfenomena alam untuk menetahui keberadaan Tuhan dan ke esaan-Nya, serta hal-hal ghaib lainnya seperti malaikat, iblis, dan alam akhirat.[4]
Perbedaan dalam metode-metode itu terjadi, seperti disinggung diatas, sepadan dengan perbedaan sifat dasar dari objeknya. Untuk objek yang berkaitan fisik atau indrawi, para filosof muslim yang pada ummumnya juga adalah ilmuan, menggunakan metode observasi, seperti Al Kindi yang menggunakan metode observasinya di laboratorium kimia dan fisikanya, Nashir Al-Din Thusi mengadakan pengamatan astronomi di observatoriumnya yang amat terkenal di Maraghah, Ibnu Sina mengadakan observasinya dalam bidang kedokteran yang dia tulis dalam bukunya yang terkenal Al Qonun fi Al Thiib.[5]
Namun,sementara barat berhenti pada bidang-bidang fisik dalam penelitian ilmiah mereka ilmuan-ilmuan muslim yang sekaligus juga filosof meneruskan tujuan ilmiah mereka ke bidang-bidang non fisik,baik yang bersifat matematis maupun metafisi. Sebagaimana observasi indra bisa keliru, dan karena itu dibutuhkan verifikasi terhadap hasil-hasilnya. Meskipun begitu, para filosof mengakui adanya beberapa tingkat atau jenis metode tersebut dan memandang objek-objek yang ditelitinya dapat ditangkap dengan tepat dengan metode yang terakhir yaitu demonstratif (burhani). Menurut mereka metode demonstratif inilah yang mereka gunakan dalam penelitian ilmiah dan filosofis mereka.
Tapi perlu diingat bahwa akal bukan satu-satunya alat yang bisa digunakan untuk menangkap realitas-realitas nonfisik karena selain akal, manusia juga dikaruniai oleh Tuhan dengan “hati” atau intuisi. Dengan pendekatan inilah disebut presensial karena objek-objeknya hadir dalam jiwa seorang, dan karena itu modus ilmu seperti itu disebut ilmu hudhuri.[6]


             B.   Pengertian Bayani
Kata bayani berasal dari bahasa Arab yaitu “al-bayan” yang secara harfiyah bermakna sesuatu yang jauh atau sesuatu yang terbuka. Namun secara istilah ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan al-bayan, ulama ilmu balagah misalnya, mendefinisikan sebagai sebuah ilmu yang dapat mengetahui satu arti dengan melalui beberapa cara atau metode seperti tasybi>h (penyerupaan). Ulama kalam mengatakan bahwa al-bayan adalah dalil yang dapat menjelaskan hukum. Sebagian yang lain mengatakan bahwa al-bayan adalah ilmu baru yang dapat menjelaskan sesuatu atau ilmu yang dapat mengeluarkan sesuatu dari kondisi samar kepada kondisi jelas.[7]
Dalam epistimologi islam bayani adalah pendekatan dengan cara menganalisis teks. Oleh karena itu, secara langsung bayani adalah memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran. Namun secara tidak langsung bayani berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran.
Meski demikian, hal ini tidak berarti akal atau rasio bisa bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi tetap harus bersandar pada teks. Sehingga dalam bayani, rasio dianggap tidak mampu memberikan pengetahuan kecuali disandarkan pada teks. Dalam perspektif keagamaan, sasaran bidik metode bayani adalah aspek syariat.[8]
Maka sumber epistimologi bayani adalah teks, sumber teks dalam studi islam dapat dikelompokan secara umum menjadi dua, yakni :
1.                  Teks nash ( al-Qur’an dan as-Sunnah )
2.                  Teks non-nash yaitu berupa karya para ulama.

Objek yang umum dengan pendekatan bayani adalah :
1.                  Gramatika dan sastra ( nahwu dan balaghah )
2.                  Hukum dan teori hukum ( fiqh dan ushul fiqh )
3.                  Fiologi
4.                  Theologi
5.                  Dalam beberapa kasus di bidang ilmu-ilmu al-Qur’an dan hadis
Adapun corak berpikir yang diterapkan dalam epistimologi ini cenderung deduktif, sehingga muncul beberapa kritik terhadap epistimologi bayani, adalah munculnya sikap :
1.                  Dogmatif
2.                  Defensif
3.                  Apologetik
4.                  Polemis
Artinya menempatkan teks yang dikaji sebagai satu ajaran mutlak (dogma) yang harus dipatuhi, diikuti dan dimaksimalkan, tidak boleh diperdebatkan, apalagi ditolak. Padahal teks yang dikaji penuh dengan historisitas kita pada zaman global, post industri dan informatika. Dengan kata lain, teks yang dikaji mestinya mendapat perhatian ketika dikaji pada zaman kini untuk diberlakukan pada masa kini yang berbeda konteks. Dengan begitu, mestinya model kajian bayani perlu diperkuat dengan analisis konteks dengan melakukan konstektualisasi untuk mencari relevansi dari nash sebagai kebutuhan untuk menjawab persoalan zaman sekarang.[9]


             C. Pengertian Burhani
Burhani merupakan bahasa Arab yang secara harfiyah berarti mensucikan atau menjernihkan. Menurut ulama ushul, al-burhan adalah sesuatu yang memisahkan kebenaran dari kebatilan dan membedakan yang benar dari yang salah melalui penjelasan.[10]
Jadi epistemologi burhani adalah epistemologi yang berpandangan bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah akal. Akal menurut epistemologi ini mempunyai kemampuan untuk menemukan berbagai pengetahuan, bahkan dalam bidang agama sekalipun akal mampu untuk mengetahuinya, seperti masalah baik dan buruk.

Maksud epistimologi burhani adalah, bahwa untuk mengukur benar atau tidaknya sesuatu adalah dengan berdasarkan komponen kemampuan alamiah manusia berupa pengalaman dan akal tanpa dasar teks wahyu suci, yang memunculkan peripatik. Maka sumber pengetahuan dengan nalar burhami adalah realitas dan empiris; alam, sisial, dan humanities. Artinya, ilmu diperoleh dengan hasil penelitian percobaan, eksperimen, baik di laboratorium maupun di alam nyata, baik bersifat sosial maupun alam. Corak yang digunakan adalah berpikir induktif, yakni generalisasi dari hasil-hasil penelitian empiris.[11]
Sikap terhadap kedua epistimologi bayani dan burhani bukan berarti harus dipisahkan dan hanya boleh memilih salah satu diantaranya. Malah untuk menyelesaikan problem-problem sosial dan dalam studiislam justru dianjurkan untuk memadukan keduanya. Dari perpaduan ini muncul nalar abduktif, yakni mencoba memadukan model deduktif dan induktif. Perpaduan antara hasil bacaan yang bersifat kontekstual dan hasil-hasil penelitian empiris, justru kelak melahirkan ilmuislam yang lengkap (kompherensif), dan kelak dapat menuntaskan problem-problem sosial kekinian dan keIndonesiaan.[12]
Jika melihat pernyataan al-Qur'an, maka akan  dijumpai sekian banyak ayat yang memerintahkan manusia untuk menggunakan nalarnya  dalam menimbang ide yang masuk ke dalam benaknya. Banyak ayat yang berbicara tentang hal ini dengan berbagai redaksi seperti ta'qilun, tatafakkarun, tadabbarun, dan lain-lain.  lni membuktikan bahwa akal pun mampu meraih pengetahuan dan kebenaran selama ia digunakan dalam wilayah kerjanya.[13]


             D. Pengertian Irfani
Secara harfiyah al-‘irfan adalah mengetahui sesuatu dengan berfikir dan mengkaji secara dalam. Dengan demikian al-‘irfan lebih khusus dari pada al-‘ilm. Secara istilah  irfani adalah pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakikat oleh Tuhan kepada hambanya (al-kasyf) setelah melalui riyadah.
Jadi apa yangdimaksud ialah pendekatan yang bersumber pada intuisi (kasf/ilham). Dari irfani muncul illuminasi. Adapun prosedur ‘rfaniah dapat digambarkan sebagai berikut. Bahwa berdasrkan literatur tasawuf, secara garis besar kita dapat menunjukan langkah-langkah penelitian ‘irfaniah sebagai berikut :
1.                    Takhliyah        : pada tahap ini, peneliti mengkosongkan perhatiannya dari makhluk dan memusatkan perhatiannya kepada Allah sebagai khaliq
2.                    Tahliyyah        : pada tahap ini, peneliti memperbanyak amal saleh dan melazimkan hubungan dengan sang Khaliq lewat ritus-ritus tertentu.
3.                    Tajliyah           : pada tahap ini, peneliti menemukan jawabanbatiniah terhadap persoalan-persoalan yang dihadapinya.
Sebagaimana paradigma lain, paradigma ‘rfaniah juga mengenal teknik-teknik yang khusus. Ada tiga teknik penelitian irfaniah :
1.      Riyadah           : rangkaian latihan dan ritu, dengan penehapan dan prosedur tertentu.
2.      Tariqah : disini diartikan sebagai kehidupan jama’ah yang mengikuti aliran tasawuf yang sama
3.      Ijazah               : dalam penelitian ‘irfaniah, kehadiran guru (mursyid) sangat prnting,. Mursyid membimbing murid dari tahap satu ke tahap yang lain. Pada tahap tertentu, mirsyid memberikan wewenag (ijazah) kepada murid.

            E. Keunggulan dan keterbatasan epistimologi bayani, burhani dan irfani

Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa di dalam islam memiliki epistemologi yang komprehensif sebagai kunci untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Keunggulan bayani terletak pada kepada kebenaran teks (al-Qur’an dan Hadis) sebagai sumber utama hukum Islam yang bersifat universal sehingga menjadi pedoman dan patokan. Sebenarnya dalam epistimologi bayani juga menggunakan akal, akan tetapi relatif sedikit dan sangat tergantung pada teks yang ada. Penggunaan yang terlalu dominan atas epistemologi ini telah menimbulkan dogma dalam kehidupan beragama, karena kurang mampu merespon perkembangan zaman.

Hal ini dikarenakan teks sebagai sumber yang paling mutlak, sedangkan akal pikiran dikesampingkan, sehingga peran akal menjadi tergantung di bawah  teks, dan tidak menempatkannya secara sejajar, saling mengisi dan melengkapi dengan teks.[14]

Sistem berpikir yang berkembang epistemologinya dikembangkan di atas semangat akal dan logika dengan beberapa penelitian akal  merupakan keunggulan epistemologi burhani. Namun Kendala yang sering dihadapi dalam penerapan pendekatan ini adalah sering tidak sinkronnya teks dan realitas. Produk ijtihadnya akan berbeda jika dalam perumusan utmanya  teks atau konteks, sehingga masyarakat lebih banyak memenangkan teks daripada konteks, meskipun disisi lain juga banyak yang memenangkan konteks.[15]
Di antara keunggulan irfani adalah bahwa segala pengetahuan yang bersumber dari intuisi-intuisi (ilham), ebih dekat dengan kebenaran dari pada ilmu-ilmu yang digali dari argumentasi-argumentasi rasional dan akal. Bahkan kalangan sufi menyatakan bahwa indra manusia dan pemikiran akalnya hanya menyentuh wilayah lahiriah alamnya, namun manusia dapat berhubungan secara langsung yang bersifat intuitif dengan hakikat tunggal alam (Allah) melalui dimensi-dimensi batiniahnya sendiri dan hal ini akan sangat berpengaruh ketika manusia telah suci, lepas, dan jauh dari segala bentuk ikatan-ikatan dan ketergantungan-ketergantungan lahiriah. Namun kendala atau keterbatasan irfani antara lain adalah bahwa ia hanya dapat dinikmati oleh segelintir manusia yang mampu sampai pada taraf pensucian diri yang tinggi. Di samping itu, irfani sangat subjektif menilai sesuatu karena ia berdasar pada pengalaman individu manusia. Pendekatannya yang supra-rasional, menafikan kritik atas nalar, serta pijakannya pada logika paradoksal yang segalanya bisa diciptakan tanpa harus berkaitan dengan sebab-sebab yang mendahuluinya, mengakibatkan epistemologi ini kehilangan dimensi kritis dan terjebak pada nuansa magis yang berandil besar pada kemunduran pola pikir manusia.[16]
BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan
Dengan membandingkan antara model berpikir umum dan islam, dengan demikian muncul gambaran berikut, bahwa epistimologi umum :
1.      Model berpikir rasional
2.      Model berpikir empirikal
3.      Model berpikir intuitif
Sementara model berpikir islam adalah :
1.      Bayani bersumber pada taks baik nash ataupun non-nash
2.      Burhani bersumber pada akal dan empirikal
3.      Irfani bersumber pada kasf [17]

Dengan demikian, dapat disimpulkan terdapat tiga cara atau metode dalam epistimologi islam untuk menangkap atau mengetahui objek-objek ilmu. Pertama, melalui indra yang sangat kompeten untuk mengenal objek-objek fisik dengan cara mengamatinya. Kedua, melalui akal yang mampu mengenal bukan saja benda-benda indriawi, melainkan juga objek-objek non-fisik dengan cara menyimpulkan dari yang telah diketahui menuju yang tidak diketahui.
Ketiga, hati yang menangkap objek-objek non-fisik atau metafisik melalui kontak langsung dengan objek-objek yang hadir dalam jiwa seseorang.

Dengan demikian, seluruh rangkaian wujud yang menjadi objek-objek ilmu pengetahuan yang fisik dan non-fisik dapat diketahui oleh manusia.[18]




[1] Mulyadi Kartanegara, Menembus waktu panorama filsafat islam, Mizan, Bandung, 2002(hlm 66)
[2] Ibid (hlm 61)
[3] Mulyadi Kartanegara, Mengislamkan nalar, Erlangga, Jakarta, 2007 (hlm 7)
[4] Mulyadi Kartanegara, Mengislamkan nalar, Erlangga, Jakarta, 2007 (hlm 8)
[5] Mulyadi Kartanegara, Menembus waktu panorama filsafat islam, Mizan, Bandung, 2002 (hlm 64)
[6] Mulyadi Kartanegara, Menembus waktu panorama filsafat islam, Mizan, Bandung, 2002 (hlm 64)
[8] Kherudin Nasution,pengantar studi islam, tazzafa, yogyakarta (hlm 41)
[9] Kherudin Nasution,pengantar studi islam, tazzafa, yogyakarta (hlm 42)
[11] Ibid (hlm 43)
[12] Kherudin Nasution,pengantar studi islam, tazzafa, yogyakarta (hlm 43)
[13] Mulyadi kartanegara, mengislamkan nalar,erlangga, jakarta, 2007 (hlm10)
[14] Mulyadi Kartanegara, Menembus waktu panorama filsafat islam, Mizan, Bandung, 2002 (hlm 66)

[15] Mulyadi Kartanegara, Menembus waktu panorama filsafat islam, Mizan, Bandung, 2002 (hlm 64)
[16] ibid
[17] Kherudin Nasution,pengantar studi islam, tazzafa, yogyakarta (hlm 45)
[18] Mulyadi Kartanegara, Menembus waktu panorama filsafat islam, Mizan, Bandung, 2002 (hlm 66)


DAFTAR PUSTAKA


·         Mulyadhi Kartanegara, Mengislamkan Nalar, Erlangga, Jakarta, 2007
·         Mulyadhi Kartanegara, Menembus batas waktu panorama filsafat Islam, Mizan, Bandung, 2002
·         William C. Chittick, Kosmologi Islam dan dunia modern, Mizan publika, Jakarta, 2010
·         Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam, tazzafa, Yogyakarta, 2012
·         http://sanadthkhusus.blogspot.com