Penyerangan atas kantor redaksi Charlie Hebdo di Paris,
Rabu, 7 Januari 2015, terhadap 12 orang diduga akibat media tersebut
kerap menampilkan gambar karikatur satir tentang Nabi Muhammad. Tak lama
setelah kejadian ini, berbagai elemen dari seluruh negara menyampaikan
kecamannya.
Seperti dilansir bbc.co.uk/indonesia, Gedung Putih
menyatakan kecaman atas serangan di kantor Charlie Hebdo. “Ini bukan
hanya serangan terhadap rakyat Prancis, ini serangan terhadap
nilai-nilai dasar yang kita anut di negara ini – kebebasan berbicara,
kebebasan berekspresi dan kebebasan pers.” juru bicara Gedung Putih,
Josh Earnest.
Tak hanya Gedung Putih, Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, pun
secara langsung menyatakan kecaman. Dikatakannya, serangan Paris itu
sebagai “visi kebencian para pembunuh.” Kanselir Jerman, Angela Merkel
yang mengatakan serangan terhadap Charlie Hebdo sangat mengerikan.
Begitu juga dengan yang dikatakan Wali Kota Paris Anne Hidalgo,
mengeluarkan pernyataan melalui Facebook, mengecam serangan terhadap
kantor Charlie Hebdo.
Inti dari seluruh kecaman menggambarkan bahwa penyerangan ini adalah
tindakan barbar. Tapi, sejatinya semua ini tak lebih menggambarkan lakon
memuakkan Barat yang liberal. Barat senantiasa menggunakan standar
ganda.
Di satu sisi, mata dan mulut mereka berteriak keras memberikan
kecaman atas penyerangan Charlie Hebdo, namun di saat yang bersamaan
mereka menutup mata, telinga, dan mulutnya atas penyerangan Amerika di
Irak, Afghanistan, Pakistan, dan Palestina yang hingga saat ini masih
terus berlanjut dan telah menghilangkan jutaan nyawa umat Islam.
Pembelaan bertubi-tubi pun mengalir untuk Charlie Hebdo dengan alasan
membela faham kebebasan. Memang benar, Charlie Hebdo dengan bebasnya
berulang kali menampilkan karikatur satir menghina Islam, dengan
anggapan bahwa apa yang mereka lakukan adalah semata wujud dari
kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Kebebasan yang pada kenyataannya malah menghina keyakinan suci umat
Islam. Seakan umat Islam tidak diperbolehkan mengekspresikan rasa
marahnya, pun ketika Nabi Muhammad saw dihina; sementara yang memiliki
hak untuk mengekspresikan rasa marah hanyalah Barat.
Standar Ganda Barat
Kita menyaksikan bagaimana parahnya ide kebebasan ini dipraktekkan
oleh Barat. Prancis melarang para muslimah di sana mengenakan purdah,
padahal bukankah hal ini adalah bagian dari kebebasan berekspresi?
Di Belanda, penyembelihan sapi dengan cara Islam dilarang, pembangunan menara masjid di Swiss juga dilarang.
Kebebasan berekspresi yang mereka agung-agungkan itu nampaknya tidak
berlaku bagi umat Islam ketika menjalankan ibadah. Tidak terlalu
berlebihan kiranya bila kemudian kita menilai bahwa kebebasan ini hanya
dijadikan alat bagi Barat untuk melanggangkan kepentingannya, tetapi
bukan untuk kebebasan mengaktualisasikan Islam.
Lalu, siapakah yang sebenarnya lebih sering menebarkan teror dan
melakukan kekerasan? Mari kita lihat pembantaian di Palestina masih
berlanjut, atas restu siapa? Begitu juga dengan pesawat tanpa awak
Amerika menyerang perbatasan Pakistan-Afghanistan, ribuan orang tewas
dan masih akan terus bertambah jumlahnya.
Bagaimana dengan kondisi Irak saat ini, siapa yang menghancurkannya?
Pencarian senjata pemusnah massal yang menjadi alasan Amerika menginvasi
Irak pada tahun 2003, ternyata tidak terbukti keberadaannya.
Namun akibat invasi ini, 1.5 juta orang tewas, Irak hancur berantakan
baik secara sosial, politik, juga ekonomi. Bush yang saat itu
memerintahkan untuk menyerang Irak, kini hidup tenang menikmati masa
pensiunnya.
Bagaimana bisa seorang presiden yang memerintahkan menghancurkan
sebuah negara bisa bebas begitu saja? Lalu siapa sebenarnya yang layak
untuk disebut teroris dan penebar kekerasan? Wallahu’alam.
sumber : https://www.islampos.com/kebebasan-berekspresi-dan-standar-ganda-barat-157590/
hari bahagia
Sabtu, 10 Januari 2015
Antara Zakat, Infak dan Sedekah
“DAN belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu
menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah,
karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik” (Q.S.
Al-Baqarah 2:195)
Dalam istilah membelanjakan harta dijalan Allah, tersebutlah tiga ibadah yaitu zakat, infak, dan sedekah. Meskipun seperti sama, beberapa ibadah tersebut ternyata memiliki makna masing-masing yang agak sedikit berbeda.
Zakat adalah nama bagi sejumlah harta tertentu yang telah mencapai syarat tertentu yang diwajibkan oleh Allah untuk dikeluarkan dan diberikan kepada yang berhak menerimanya dengan persyaratan tertentu pula.
Setiap harta yang sudah dikeluarkan zakatnya akan menjadi suci, bersih, baik, berkah, tumbuh, dan berkembang (at-Taubah: 103, dan ar-Rum: 39).
Infak berarti mengeluarkan sebagian dari harta atau pendapatan/ penghasilan untuk suatu kepentingan yang diperintahkan ajaran Islam.
Jika zakat ada nisabnya, infak tidak mengenal nisab. Jika zakat harus diberikan pada mustahik tertentu (8 asnaf) maka infak boleh diberikan kepada siapapun juga, misalnya untuk kedua orangtua, anak yatim, dan sebagainya (Q.S. Al-Baqarah: 215).
Infak dikeluarkan oleh setiap orang yang beriman,baik yang berpenghasilan tinggi maupun rendah, apakah ia di saat lapang maupun sempit (Q.S Ali Imran: 134)
Pengertian sedekah sama dengan pengertian infak,termasuk juga hukum dan ketentuan-ketentuannya. Hanya saja, jika infak berkaitan dengan materi, sedekah memiliki arti lebih luas, menyangkut hal yang bersifat non materiil. Seperti halnya, senyum saja bisa menjadi sedekah.
Jika seseorang telah berzakat tetapi masih memiliki kelebihan harta, sangat dianjurkan sekali untuk berinfak atau bersedekah.
Berinfak adalah ciri utama orang yang bertakwa (al-Baqarah: 3 dan Ali Imran: 134), ciri mukmin yang sungguh-sungguh imannya (al-Anfal: 3-4), ciri mukmin yang mengharapkan keuntungan abadi (al-Faathir: 29). Berinfak akan melipatgandakan pahala di sisi Allah (al-Baqarah: 262).
“Dan demikianlah Kami terangkan ayat-ayat Al Qur’an, (supaya jelas jalan orang-orang yang saleh) dan supaya jelas (pula) jalan orang-orang yang berdosa. (Q.S.Al An’am 6: 55).
[ds/islampos/salamsalam]
Dalam istilah membelanjakan harta dijalan Allah, tersebutlah tiga ibadah yaitu zakat, infak, dan sedekah. Meskipun seperti sama, beberapa ibadah tersebut ternyata memiliki makna masing-masing yang agak sedikit berbeda.
Zakat adalah nama bagi sejumlah harta tertentu yang telah mencapai syarat tertentu yang diwajibkan oleh Allah untuk dikeluarkan dan diberikan kepada yang berhak menerimanya dengan persyaratan tertentu pula.
Setiap harta yang sudah dikeluarkan zakatnya akan menjadi suci, bersih, baik, berkah, tumbuh, dan berkembang (at-Taubah: 103, dan ar-Rum: 39).
- Persyaratan harta yang wajib dizakatkan itu:
Harta itu dikuasai secara penuh dan dimiliki secara sah, yang didapat dari usaha, bekerja, warisan, atau pemberian yang sah, dimungkinkan untuk dipergunakan, diambil manfaatnya, atau kemudian disimpan. Di luar itu, seperti hasil korupsi, kolusi, suap, atau perbuatan tercela lainnya, tidak sah dan tak akan diterima zakatnya. HR Muslim, Rasulullah bersabda bahwa Allah SWT tidak akan menerima zakat/sedekah dari harta yang ghulul (didapatkan dengan cara batil). - Harta yang berkembang jika diusahakan atau memiliki potensi untuk berkembang, misalnya harta perdagangan, peternakan, pertanian, deposito mudharabah, usaha bersama, obligasi, dan lain sebagainya.
- Telah mencapai nisab, harta itu telah mencapai ukuran tertentu. Misalnya, untuk hasil pertanian telah mencapai jumlah 653 kg, emas/perak telah senilai 85 gram emas, perdagangan telah mencapai nilai 85 gram emas, peternakan sapi telah mencapai 30 ekor, dan sebagainya.
- Telah melebihi kebutuhan pokok, yaitu kebutuhan minimal yang diperlukan seseorang dan keluarganya yang menjadi tanggungan nya untuk kelangsungan hidupnya.
- Telah mencapai satu tahun (haul) untuk harta-harta tertentu, misalnya perdagangan. Akan tetapi, untuk tanaman dikeluarkan zakatnya pada saat memanennya (Q.S. Al-An’am: 141).
Infak berarti mengeluarkan sebagian dari harta atau pendapatan/ penghasilan untuk suatu kepentingan yang diperintahkan ajaran Islam.
Jika zakat ada nisabnya, infak tidak mengenal nisab. Jika zakat harus diberikan pada mustahik tertentu (8 asnaf) maka infak boleh diberikan kepada siapapun juga, misalnya untuk kedua orangtua, anak yatim, dan sebagainya (Q.S. Al-Baqarah: 215).
Infak dikeluarkan oleh setiap orang yang beriman,baik yang berpenghasilan tinggi maupun rendah, apakah ia di saat lapang maupun sempit (Q.S Ali Imran: 134)
Pengertian sedekah sama dengan pengertian infak,termasuk juga hukum dan ketentuan-ketentuannya. Hanya saja, jika infak berkaitan dengan materi, sedekah memiliki arti lebih luas, menyangkut hal yang bersifat non materiil. Seperti halnya, senyum saja bisa menjadi sedekah.
- Muslim dari Abu Dzar,Rasulullah menyatakan bahwa jika tidak mampu bersedekah dengan harta maka membaca tasbih, membaca takbir, tahmid, tahlil, berhubungan suami-isteri,dan melakukan kegiatan amar ma’ruf nahi munkar adalah sedekah.
Jika seseorang telah berzakat tetapi masih memiliki kelebihan harta, sangat dianjurkan sekali untuk berinfak atau bersedekah.
Berinfak adalah ciri utama orang yang bertakwa (al-Baqarah: 3 dan Ali Imran: 134), ciri mukmin yang sungguh-sungguh imannya (al-Anfal: 3-4), ciri mukmin yang mengharapkan keuntungan abadi (al-Faathir: 29). Berinfak akan melipatgandakan pahala di sisi Allah (al-Baqarah: 262).
“Dan demikianlah Kami terangkan ayat-ayat Al Qur’an, (supaya jelas jalan orang-orang yang saleh) dan supaya jelas (pula) jalan orang-orang yang berdosa. (Q.S.Al An’am 6: 55).
[ds/islampos/salamsalam]
Rabu, 07 Januari 2015
Hukum Memajang Foto Makhluk Bernyawa
BAGAIMANA hukum mengenai menggambar atau memajang foto bernyawa?
Dalam berbagai hadits dilarang bagi kita untuk memajang gambar makhluk
bernyawa.
Gambar yang terlarang dibawa ini adalah gambar manusia atau hewan, bukan gambar batu, pohon dan gambar lainnya yang tidak memiliki ruh. Jika gambar tersebut memiliki kepala, maka diperintahkan untuk dihapus.
Karena kepala itu adalah intinya sehingga gambar itu bisa dikatakan memiliki ruh atau nyawa. Agar lebih jelas perhatikan terlebih dahulu hadits-hadits yang menerangkan hal tersebut. Hanya Allah yang beri taufik.
Keterangan dari hadits
Dalam hadits muttafaqun ‘alaih disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Pelajaran dari hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu , menunjukkan bahwa yang dimaksud gambar yang terlarang dipajang adalah gambar makhluk bernyawa (yang memiliki ruh) yaitu manusia dan hewan, tidak termasuk tumbuhan. Sisi pendalilannya bahwa Jibril menganjurkan agar bagian kepala dari gambar tersebut dihilangkan, barulah beliau akan masuk ke dalam rumah.
Ini menunjukkan larangan hanya berlaku pada gambar yang bernyawa karena gambar orang tanpa kepala tidaklah bisa dikatakan bernyawa lagi.
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan dalam kesempatan yang lain bahwa gambar makhluk bernyawa boleh dibawa jika darurat. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin ditanya, “Dalam majelis sebelumnya, engkau katakan bahwa boleh membawa gambar dengan alasan darurat. Mohon dijelaskan apa yang jadi kaedah dikatakan darurat?”
Syaikh rahimahullah menjawab, “Darurat yang dimaksud adalah semisal gambar yang ada pada mata uang atau memang gambar tersebut adalah gambar ikutan yang tidak bisa tidak harus turut serta dibawa atau keringanan dalam qiyadah (pimpinan).
Ini adalah di antara kondisi darurat yang dibolehkan. Orang pun tidak punya keinginan khusus dengan gambar-gambar tersebut dan di hatinya pun tidak maksud mengagungkan gambar itu. Bahkan gambar raja yang ada di mata uang, tidak seorang pun yang punya maksud mengagungkan gambar itu,” (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 33)
Penjelasan hukum dalam tulisan di atas semata-mata berdasarkan dalil dari sabda Nabi kita Muhammadshallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan atas dasar logika semata. Semoga Allah menganugerahkan sifat takwa sehingga bisa menjauhi setiap larangan dan mudah dalam melakukan kebaikan.
Namun dalam pembahasannya islam membolehkan menggambar atau memajang sesuatu ciptaannya tanpa ada mengagungkan lebih dari ciptaan-Nya.[]
Sumber : www.rumaysho.com
Gambar yang terlarang dibawa ini adalah gambar manusia atau hewan, bukan gambar batu, pohon dan gambar lainnya yang tidak memiliki ruh. Jika gambar tersebut memiliki kepala, maka diperintahkan untuk dihapus.
Karena kepala itu adalah intinya sehingga gambar itu bisa dikatakan memiliki ruh atau nyawa. Agar lebih jelas perhatikan terlebih dahulu hadits-hadits yang menerangkan hal tersebut. Hanya Allah yang beri taufik.
Keterangan dari hadits
Dalam hadits muttafaqun ‘alaih disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لاَ تَدْخُلُ بَيْتًا فِيهِ صُورَةٌ
“Para malaikat tidak akan masuk ke rumah yang terdapat gambar di dalamnya (yaitu gambar makhluk hidup bernyawa)”Pelajaran dari hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu , menunjukkan bahwa yang dimaksud gambar yang terlarang dipajang adalah gambar makhluk bernyawa (yang memiliki ruh) yaitu manusia dan hewan, tidak termasuk tumbuhan. Sisi pendalilannya bahwa Jibril menganjurkan agar bagian kepala dari gambar tersebut dihilangkan, barulah beliau akan masuk ke dalam rumah.
Ini menunjukkan larangan hanya berlaku pada gambar yang bernyawa karena gambar orang tanpa kepala tidaklah bisa dikatakan bernyawa lagi.
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan dalam kesempatan yang lain bahwa gambar makhluk bernyawa boleh dibawa jika darurat. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin ditanya, “Dalam majelis sebelumnya, engkau katakan bahwa boleh membawa gambar dengan alasan darurat. Mohon dijelaskan apa yang jadi kaedah dikatakan darurat?”
Syaikh rahimahullah menjawab, “Darurat yang dimaksud adalah semisal gambar yang ada pada mata uang atau memang gambar tersebut adalah gambar ikutan yang tidak bisa tidak harus turut serta dibawa atau keringanan dalam qiyadah (pimpinan).
Ini adalah di antara kondisi darurat yang dibolehkan. Orang pun tidak punya keinginan khusus dengan gambar-gambar tersebut dan di hatinya pun tidak maksud mengagungkan gambar itu. Bahkan gambar raja yang ada di mata uang, tidak seorang pun yang punya maksud mengagungkan gambar itu,” (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 33)
Penjelasan hukum dalam tulisan di atas semata-mata berdasarkan dalil dari sabda Nabi kita Muhammadshallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan atas dasar logika semata. Semoga Allah menganugerahkan sifat takwa sehingga bisa menjauhi setiap larangan dan mudah dalam melakukan kebaikan.
Namun dalam pembahasannya islam membolehkan menggambar atau memajang sesuatu ciptaannya tanpa ada mengagungkan lebih dari ciptaan-Nya.[]
Sumber : www.rumaysho.com
Jumat, 02 Januari 2015
SEJARAH MAULID NABI
Bulan Rabiul Awwal merupakan bulan di mana nabi yang paling agung,
nabi yang membawa risalah terakhir dilahirkan. Hampir sebagian umat
Islam khususnya di Indonesia merayakan hari lahirnya sang pembawa
cahaya, yang mengeluarkan umatnya dari zaman kegelapan hingga zaman
terang benderang.
Kebanyakan umat Islam merayakannya sebagai ungkapan rasa syukur dan rasa cinta yang begitu besar kepada Nabi SAW. Namun, yang perlu kita ketahui pernahkah generasi awal merayakan maulid nabi. Yang sudah tentu kita tahu, bahwa generasi awal (salafussholeh) adalah generasi yang paling dekat dengan Nabi SAW. Dan mereka yang paling tahu apa yang diingikan Nabi SAW. Karena meraka selalu hidup berdampingan dengan nabi sepanjang hayatnya.
Oleh karena itu, kita dituntut untuk tahu sejarah awal mula dirayakannya maulid Nabi SAW. Karena sesuatu perkerjaan yang tidak didasarkan atas ilmu maka akan sia sia. Sebagaimana Rasullah bersabda:
Ada beberapa pendapat tentang asal mula maulid Nabi SAW. Pendapat pertama mengatakan bahwa Sholahuddin Al Ayubi yang pertama kali memulai perayaan maulid karena melihat kondisi muslimin pada waktu itu semakin jauh dengan sunah-sunah Rasullah SAW. Sedangkan para tentara salibis setiap saat siap untuk menyerang pasukan muslimin dalam sekali hantaman. Dan dengan ijtihad beliau mengadakan maulid Nabi SAW agar menumbuhkan sunah-sunah yang mulai memudar dari tubuh muslimin dan semangat juang dalam menegakkan kalimatullah.
Sedangkan pendapat kedua para ahli sejarah seperti Ibn Khallikan, Sibth Ibn al-Jauzi, Ibn Kathir, al-Hafizh al-Sakhawi, al-Hafizh al-Suyuthi dan lainnya telah bersepakat menyatakan bahwa orang yang pertama kali mengadakan peringatan maulid adalah Sultan al-Muzhaffar, bukan Shalahuddin al-Ayyubi.
Sebagaimana yang ditulis oleh ibn Khallikan dalam kitabnya Wafayat Al-A`yan menceritakan bahwa Al-Imam Al-Hafizh Ibn Dihyah datang dari Maroko menuju Syam dan seterusnya ke Irak. Ketika melintasi daerah Irbil pada tahun 604 Hijriah, beliau mendapati Sultan Al-Muzhaffar, raja Irbil tersebut sangat besar perhatiannya terhadap perayaan Maulid Nabi.
Imam Suyuthi dalam kitabnya Husn Al-Maqosid fi Amal Al-Maulid menerangkan bahwa orang yang pertama kali menyelenggarakan maulid Nabi adalah Sultan Al-Muzhaffar, penguasa dari negeri Irbil yang terkenal loyal dan berdedikasi tinggi. Mudzorofah pernah menghadiahkan sepuluh ribu dinar kepada Syekh Abu Al-Khatib Ibnu Dihyah yang telah berhasil menyusun sebuah buku riwayat hidup dan risalah Rasulullah dengan judul At-Tanwir fi Maulid Al-Basyir Al-Nazir.
Pada masa Abbasiyah, sekitar abad kedua belas masehi, perayaan maulid Nabi dilaksanakan secara resmi yang dibiayai dan difasilitasi oleh khalifah dengan mengundang penguasa lokal. Acara itu diisi dengan puji-pujian dan uraian maulid Nabi, serta dilangsungkan dengan pawai akbar mengelilingi kota diiringi pasukan berkuda dan angkatan bersenjata.
Sedangkan pendapat yang ketiga para ahli sejarah seperti Al Maqriziy serta mufti mesir Asy Syaikh Bakhit Al Muti’iy dan juga Asy Syaikh ‘Ali Mahfuzh mengatakan bahwa kelompok yang pertama kali mengadakan maulid Nabi SAW adalah Firqoh sesat Syiah Ubaidiyyun pada dinasti fatimiyah sebagaimana yang beliau tuliskan pada kitabnya Al Ibda’ fi Madhoril Ibtida’.
Dari beberapa pendapat kita dapat menyimpulkan bahwa perayaan maulid tidak dilaksanakan di masa Rasulullah dan sahabatnya. Tidak juga di masa tabi’in, tabi’ut tabi’in dan empat Imam Madzhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad), padahal mereka adalah orang-orang yang sangat cinta dan mengagungkan Nabinya. Dan sebaliknya bahwa perayaan maulid baru dimulai pada masa mamalik (kerajaan) sekitar abad ke-7 Hijriyah di saat firqoh-firqoh sesat subur berkembang di masa itu. Wallahu a’lam. []
sumber : https://www.islampos.com/berdasarkan-pendapat-ahli-sejarah-ini-awal-mula-perayaan-maulid-nabi-155751/
Kebanyakan umat Islam merayakannya sebagai ungkapan rasa syukur dan rasa cinta yang begitu besar kepada Nabi SAW. Namun, yang perlu kita ketahui pernahkah generasi awal merayakan maulid nabi. Yang sudah tentu kita tahu, bahwa generasi awal (salafussholeh) adalah generasi yang paling dekat dengan Nabi SAW. Dan mereka yang paling tahu apa yang diingikan Nabi SAW. Karena meraka selalu hidup berdampingan dengan nabi sepanjang hayatnya.
Oleh karena itu, kita dituntut untuk tahu sejarah awal mula dirayakannya maulid Nabi SAW. Karena sesuatu perkerjaan yang tidak didasarkan atas ilmu maka akan sia sia. Sebagaimana Rasullah bersabda:
“من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد”
“Barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan yang tidak ada
perintahnya dari kami, maka perbuatan tersebut tertolak,” (HR. Muslim).Ada beberapa pendapat tentang asal mula maulid Nabi SAW. Pendapat pertama mengatakan bahwa Sholahuddin Al Ayubi yang pertama kali memulai perayaan maulid karena melihat kondisi muslimin pada waktu itu semakin jauh dengan sunah-sunah Rasullah SAW. Sedangkan para tentara salibis setiap saat siap untuk menyerang pasukan muslimin dalam sekali hantaman. Dan dengan ijtihad beliau mengadakan maulid Nabi SAW agar menumbuhkan sunah-sunah yang mulai memudar dari tubuh muslimin dan semangat juang dalam menegakkan kalimatullah.
Sedangkan pendapat kedua para ahli sejarah seperti Ibn Khallikan, Sibth Ibn al-Jauzi, Ibn Kathir, al-Hafizh al-Sakhawi, al-Hafizh al-Suyuthi dan lainnya telah bersepakat menyatakan bahwa orang yang pertama kali mengadakan peringatan maulid adalah Sultan al-Muzhaffar, bukan Shalahuddin al-Ayyubi.
Sebagaimana yang ditulis oleh ibn Khallikan dalam kitabnya Wafayat Al-A`yan menceritakan bahwa Al-Imam Al-Hafizh Ibn Dihyah datang dari Maroko menuju Syam dan seterusnya ke Irak. Ketika melintasi daerah Irbil pada tahun 604 Hijriah, beliau mendapati Sultan Al-Muzhaffar, raja Irbil tersebut sangat besar perhatiannya terhadap perayaan Maulid Nabi.
Imam Suyuthi dalam kitabnya Husn Al-Maqosid fi Amal Al-Maulid menerangkan bahwa orang yang pertama kali menyelenggarakan maulid Nabi adalah Sultan Al-Muzhaffar, penguasa dari negeri Irbil yang terkenal loyal dan berdedikasi tinggi. Mudzorofah pernah menghadiahkan sepuluh ribu dinar kepada Syekh Abu Al-Khatib Ibnu Dihyah yang telah berhasil menyusun sebuah buku riwayat hidup dan risalah Rasulullah dengan judul At-Tanwir fi Maulid Al-Basyir Al-Nazir.
Pada masa Abbasiyah, sekitar abad kedua belas masehi, perayaan maulid Nabi dilaksanakan secara resmi yang dibiayai dan difasilitasi oleh khalifah dengan mengundang penguasa lokal. Acara itu diisi dengan puji-pujian dan uraian maulid Nabi, serta dilangsungkan dengan pawai akbar mengelilingi kota diiringi pasukan berkuda dan angkatan bersenjata.
Sedangkan pendapat yang ketiga para ahli sejarah seperti Al Maqriziy serta mufti mesir Asy Syaikh Bakhit Al Muti’iy dan juga Asy Syaikh ‘Ali Mahfuzh mengatakan bahwa kelompok yang pertama kali mengadakan maulid Nabi SAW adalah Firqoh sesat Syiah Ubaidiyyun pada dinasti fatimiyah sebagaimana yang beliau tuliskan pada kitabnya Al Ibda’ fi Madhoril Ibtida’.
Dari beberapa pendapat kita dapat menyimpulkan bahwa perayaan maulid tidak dilaksanakan di masa Rasulullah dan sahabatnya. Tidak juga di masa tabi’in, tabi’ut tabi’in dan empat Imam Madzhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad), padahal mereka adalah orang-orang yang sangat cinta dan mengagungkan Nabinya. Dan sebaliknya bahwa perayaan maulid baru dimulai pada masa mamalik (kerajaan) sekitar abad ke-7 Hijriyah di saat firqoh-firqoh sesat subur berkembang di masa itu. Wallahu a’lam. []
sumber : https://www.islampos.com/berdasarkan-pendapat-ahli-sejarah-ini-awal-mula-perayaan-maulid-nabi-155751/
Rabu, 17 Desember 2014
Sabtu, 11 Oktober 2014
Pengelompokan Keilmuan Islam Dalam Bayani Burhani dan Irfani
PENDAHULUAN
1.1
LATAR
BELAKANG MASALAH
Ilmu pengetahuan dan teknologi
menjadi kunci yang paling mendasar dari kemajuan yang diraih umat manusia,
tentunya tidak datang begitu saja tanpa ada sebuah dinamika atau pengembangan
ilmiah. Proses untuk mendapatkan ilmu pengetahuan itulah dikenal dengan istilah
epistemologis. Lebih lanjut Ahmad
Tafsir mengungkapkan bahwa Epistemologi membicarakan sumber ilmu pengetahuan
dan bagaimana cara memperoleh ilmu pengetahuan.[1]
Metode ilmiah yang dikembangkan oleh para
pemikir muslim berbeda secara signifikan dengan metode yang dikembangkan oleh
para pemikir barat. Sebab, seperti pernah dikatakan Ziaudin Sardar, sementara
para ilmuanbarat menggunakan hanya satu macam metode ilmiah, yaitu metode
observasoi, para pemikir muslim menggunakan tiga macam metode sesuai dengan
tingkat atau hiererki objek-objeknya, yaitu
(1) Bayani atau observasi,
(2) Burhani atau Logis,
(3) Irfani atau intuitif,
yang masing-masing bersumber pada indra, akal,
dan hati.[2]
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan epistemologi bayani,
burhani dan irfani?
2. Bagaimana penerapan epistimologi
bayani, burhani dan irfani ?
3. Apa saja keunggulan dan keterbatasan
epistemologi bayani, burhani dan irfani
1.3 TUJUAN PENELITIAN
- 1. Mengetahui maksud dengan metode bayani, burhani, dan irfani
- 2. Mengetahui manfaat penerapan epistimologi bayani, burhani dan irfani
- 3. Mengetahiu kelebihan dan kelemahan ketiga metode tersebut.
1.4 MANFAAT PENELITIAN
- 1. Memberikan pemahaman maksud metode bayani, burhani dan irfani
- 2. Memberikan manfaat penerapan epistimologi bayani, burhani dan irfani
- 3. Memberikan kelebihan dan kelemahan ketiga metode tersebut.
1.5 RUANG LINGKUP MASALAH
Ruang lingkup masalah sebatas menjelaskan penerapan keilmuan
islam dalam rumpun bayani, burhani dan irfani
1.6 METODE DAN TEKNIK PENELITIAN
- 1. Deskriptif
- 2. Studi pustaka
BABA II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Bayani, Burhani dan Irfani
Menurut para ilmuan Muslim, manusia
memiliki tiga macam sumber “alat” untuk menengkap keseluruhan realitas : panca
indra, akal, dan intuisi (meliputi wahyu). Sementara di lain sisi, para ilmuan barat
modern pada dasarnya hanya mengakui indra. Dengan hanya mengakui indra, mereka
mengembangkan hanya satu metode penelitian saja, yaitu metode observasi, atau
eksperimen indrawi. Metode observasi ini memang terus dikembangkan
sampaitingkat yang canggih, tetapi semuanya tetap bermuara pada penerapan
indrawi.[3]
Berbeda dengan ilmuwan-ilmuwan
barat, ilmuwan-ilmuwan muslim mengakui keabsahan bukan hanya metode observasi,
tetapi juga metode rasional (burhan) dan intuitif (irfani). Dengan kata lain,
mereka mengakui bukan hanya persepsi indrawi dalam proses pengetahuan, tetapi
juga nalar akal dan persepsi hati.
Selain panca indra, sarjana-sarjana
muslim juga mengakui akal sebagai alat untuk menangkap realitas. Dari sini
mereka mengembangkan apa yang disebut sebagai metode rasionel-demonstratif
(burhan). Seperti indra dapat menangkap objek indrawi, maka akal dapat
menangkap objek sepiritual atau metafisik secara logistik, yakni menarik
kesimpulan tentang hal-hal yang tidak diketahui dari hal-hal yang telah diketahui.
Dengan cara inilah manusia dapat melakukan refleksi dan
penelitian terhadapfenomena alam untuk menetahui keberadaan Tuhan dan ke
esaan-Nya, serta hal-hal ghaib lainnya seperti malaikat, iblis, dan alam
akhirat.[4]
Perbedaan dalam metode-metode itu
terjadi, seperti disinggung diatas, sepadan dengan perbedaan sifat dasar dari
objeknya. Untuk objek yang berkaitan fisik atau indrawi, para filosof muslim
yang pada ummumnya juga adalah ilmuan, menggunakan metode observasi, seperti Al
Kindi yang menggunakan metode observasinya di laboratorium kimia dan fisikanya,
Nashir Al-Din Thusi mengadakan pengamatan astronomi di observatoriumnya yang
amat terkenal di Maraghah, Ibnu Sina mengadakan observasinya dalam bidang
kedokteran yang dia tulis dalam bukunya yang terkenal Al Qonun fi Al Thiib.[5]
Namun,sementara barat berhenti pada
bidang-bidang fisik dalam penelitian ilmiah mereka ilmuan-ilmuan muslim yang
sekaligus juga filosof meneruskan tujuan ilmiah mereka ke bidang-bidang non
fisik,baik yang bersifat matematis maupun metafisi. Sebagaimana observasi indra
bisa keliru, dan karena itu dibutuhkan verifikasi terhadap hasil-hasilnya.
Meskipun begitu, para filosof mengakui adanya beberapa tingkat atau jenis metode
tersebut dan memandang objek-objek yang ditelitinya dapat ditangkap dengan
tepat dengan metode yang terakhir yaitu demonstratif (burhani). Menurut mereka
metode demonstratif inilah yang mereka gunakan dalam penelitian ilmiah dan
filosofis mereka.
Tapi perlu diingat bahwa akal bukan satu-satunya alat yang
bisa digunakan untuk menangkap realitas-realitas nonfisik karena selain akal,
manusia juga dikaruniai oleh Tuhan dengan “hati” atau intuisi. Dengan
pendekatan inilah disebut presensial karena objek-objeknya hadir dalam jiwa
seorang, dan karena itu modus ilmu seperti itu disebut ilmu hudhuri.[6]
B. Pengertian
Bayani
Kata
bayani berasal dari bahasa Arab yaitu “al-bayan” yang secara harfiyah bermakna
sesuatu yang jauh atau sesuatu yang terbuka. Namun secara istilah ulama berbeda
pendapat dalam mendefinisikan al-bayan, ulama ilmu balagah misalnya,
mendefinisikan sebagai sebuah ilmu yang dapat mengetahui satu arti dengan
melalui beberapa cara atau metode seperti tasybi>h (penyerupaan).
Ulama kalam mengatakan bahwa al-bayan adalah dalil yang dapat menjelaskan
hukum. Sebagian yang lain mengatakan bahwa al-bayan adalah ilmu baru yang dapat
menjelaskan sesuatu atau ilmu yang dapat mengeluarkan sesuatu dari kondisi
samar kepada kondisi jelas.[7]
Dalam epistimologi islam bayani
adalah pendekatan dengan cara menganalisis teks. Oleh karena itu, secara langsung
bayani adalah memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung
mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran. Namun secara tidak langsung bayani
berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan
penalaran.
Meski demikian, hal
ini tidak berarti akal atau rasio bisa bebas menentukan makna dan maksudnya,
tetapi tetap harus bersandar pada teks. Sehingga dalam bayani, rasio dianggap
tidak mampu memberikan pengetahuan kecuali disandarkan pada teks. Dalam perspektif
keagamaan, sasaran bidik metode bayani adalah aspek syariat.[8]
Maka sumber epistimologi bayani
adalah teks, sumber teks dalam studi islam dapat dikelompokan secara umum
menjadi dua, yakni :
1.
Teks
nash ( al-Qur’an dan as-Sunnah )
2.
Teks
non-nash yaitu berupa karya para ulama.
Objek yang umum dengan pendekatan bayani adalah :
1.
Gramatika
dan sastra ( nahwu dan balaghah )
2.
Hukum
dan teori hukum ( fiqh dan ushul fiqh )
3.
Fiologi
4.
Theologi
5.
Dalam
beberapa kasus di bidang ilmu-ilmu al-Qur’an dan hadis
Adapun
corak berpikir yang diterapkan dalam epistimologi ini cenderung deduktif,
sehingga muncul beberapa kritik terhadap epistimologi bayani, adalah munculnya
sikap :
1.
Dogmatif
2.
Defensif
3.
Apologetik
4.
Polemis
Artinya menempatkan teks yang dikaji
sebagai satu ajaran mutlak (dogma) yang harus dipatuhi, diikuti dan
dimaksimalkan, tidak boleh diperdebatkan, apalagi ditolak. Padahal teks yang
dikaji penuh dengan historisitas kita pada zaman global, post industri dan
informatika. Dengan kata lain, teks yang dikaji mestinya mendapat perhatian
ketika dikaji pada zaman kini untuk diberlakukan pada masa kini yang berbeda
konteks. Dengan begitu, mestinya model kajian bayani perlu diperkuat dengan
analisis konteks dengan melakukan konstektualisasi untuk mencari relevansi dari
nash sebagai kebutuhan untuk menjawab persoalan zaman sekarang.[9]
C. Pengertian
Burhani
Burhani
merupakan bahasa Arab yang secara harfiyah berarti mensucikan atau
menjernihkan. Menurut ulama ushul, al-burhan adalah sesuatu yang memisahkan
kebenaran dari kebatilan dan membedakan yang benar dari yang salah melalui
penjelasan.[10]
Jadi
epistemologi burhani adalah epistemologi yang berpandangan bahwa sumber
ilmu pengetahuan adalah akal. Akal menurut epistemologi ini mempunyai kemampuan
untuk menemukan berbagai pengetahuan, bahkan dalam bidang agama sekalipun akal
mampu untuk mengetahuinya, seperti masalah baik dan buruk.
Maksud
epistimologi burhani adalah, bahwa untuk mengukur benar atau tidaknya sesuatu
adalah dengan berdasarkan komponen kemampuan alamiah manusia berupa pengalaman
dan akal tanpa dasar teks wahyu suci, yang memunculkan peripatik. Maka sumber
pengetahuan dengan nalar burhami adalah realitas dan empiris; alam, sisial, dan
humanities. Artinya, ilmu diperoleh dengan hasil penelitian percobaan,
eksperimen, baik di laboratorium maupun di alam nyata, baik bersifat sosial
maupun alam. Corak yang digunakan adalah berpikir induktif, yakni generalisasi
dari hasil-hasil penelitian empiris.[11]
Sikap terhadap kedua epistimologi
bayani dan burhani bukan berarti harus dipisahkan dan hanya boleh memilih salah
satu diantaranya. Malah untuk menyelesaikan problem-problem sosial dan dalam
studiislam justru dianjurkan untuk memadukan keduanya. Dari perpaduan ini
muncul nalar abduktif, yakni mencoba memadukan model deduktif dan induktif.
Perpaduan antara hasil bacaan yang bersifat kontekstual dan hasil-hasil
penelitian empiris, justru kelak melahirkan ilmuislam yang lengkap (kompherensif),
dan kelak dapat menuntaskan problem-problem sosial kekinian dan keIndonesiaan.[12]
Jika
melihat pernyataan al-Qur'an, maka akan
dijumpai sekian banyak ayat yang memerintahkan manusia untuk menggunakan
nalarnya dalam menimbang ide yang masuk ke dalam benaknya. Banyak ayat yang
berbicara tentang hal ini dengan berbagai redaksi seperti ta'qilun, tatafakkarun,
tadabbarun, dan lain-lain. lni membuktikan bahwa akal pun mampu
meraih pengetahuan dan kebenaran selama ia digunakan dalam wilayah kerjanya.[13]
D. Pengertian
Irfani
Secara harfiyah al-‘irfan adalah mengetahui sesuatu
dengan berfikir dan mengkaji secara dalam. Dengan demikian al-‘irfan
lebih khusus dari pada al-‘ilm. Secara istilah irfani adalah pengungkapan atas pengetahuan
yang diperoleh lewat penyinaran hakikat oleh Tuhan kepada hambanya (al-kasyf)
setelah melalui riyadah.
Jadi apa yangdimaksud ialah pendekatan yang bersumber pada
intuisi (kasf/ilham). Dari irfani muncul illuminasi. Adapun prosedur ‘rfaniah
dapat digambarkan sebagai berikut. Bahwa berdasrkan literatur tasawuf, secara
garis besar kita dapat menunjukan langkah-langkah penelitian ‘irfaniah sebagai
berikut :
1.
Takhliyah
: pada tahap ini, peneliti
mengkosongkan perhatiannya dari makhluk dan memusatkan perhatiannya kepada
Allah sebagai khaliq
2.
Tahliyyah
: pada tahap ini, peneliti
memperbanyak amal saleh dan melazimkan hubungan dengan sang Khaliq lewat
ritus-ritus tertentu.
3.
Tajliyah
: pada tahap ini, peneliti
menemukan jawabanbatiniah terhadap persoalan-persoalan yang dihadapinya.
Sebagaimana paradigma lain, paradigma ‘rfaniah juga mengenal teknik-teknik yang khusus. Ada tiga teknik penelitian irfaniah :
Sebagaimana paradigma lain, paradigma ‘rfaniah juga mengenal teknik-teknik yang khusus. Ada tiga teknik penelitian irfaniah :
1.
Riyadah : rangkaian latihan dan ritu, dengan
penehapan dan prosedur tertentu.
2.
Tariqah : disini diartikan sebagai kehidupan jama’ah
yang mengikuti aliran tasawuf yang sama
3.
Ijazah : dalam penelitian ‘irfaniah,
kehadiran guru (mursyid) sangat prnting,. Mursyid membimbing murid dari tahap
satu ke tahap yang lain. Pada tahap tertentu, mirsyid memberikan wewenag
(ijazah) kepada murid.
E. Keunggulan
dan keterbatasan epistimologi bayani, burhani dan irfani
Seperti
yang telah dijelaskan diatas bahwa di dalam islam memiliki
epistemologi yang komprehensif sebagai kunci untuk mendapatkan ilmu
pengetahuan. Keunggulan bayani terletak pada kepada kebenaran teks (al-Qur’an
dan Hadis) sebagai sumber utama hukum Islam yang bersifat universal sehingga
menjadi pedoman dan patokan. Sebenarnya dalam epistimologi bayani juga
menggunakan akal, akan tetapi relatif sedikit dan sangat tergantung pada teks
yang ada. Penggunaan yang terlalu dominan atas epistemologi ini telah
menimbulkan dogma dalam kehidupan beragama, karena kurang mampu merespon
perkembangan zaman.
Hal ini
dikarenakan teks sebagai sumber yang paling mutlak, sedangkan akal pikiran
dikesampingkan, sehingga peran akal menjadi tergantung di bawah teks, dan tidak menempatkannya secara
sejajar, saling mengisi dan melengkapi dengan teks.[14]
Sistem berpikir yang berkembang epistemologinya
dikembangkan di atas semangat akal dan logika dengan beberapa penelitian akal merupakan
keunggulan epistemologi burhani. Namun Kendala yang sering dihadapi dalam
penerapan pendekatan ini adalah sering tidak sinkronnya teks dan realitas.
Produk ijtihadnya akan berbeda jika dalam perumusan utmanya teks atau konteks, sehingga masyarakat lebih
banyak memenangkan teks daripada konteks, meskipun disisi lain juga banyak yang
memenangkan konteks.[15]
Di antara keunggulan irfani adalah bahwa segala
pengetahuan yang bersumber dari intuisi-intuisi (ilham), ebih dekat dengan
kebenaran dari pada ilmu-ilmu yang digali dari argumentasi-argumentasi rasional
dan akal. Bahkan kalangan sufi menyatakan bahwa indra manusia dan pemikiran
akalnya hanya menyentuh wilayah lahiriah alamnya, namun manusia dapat
berhubungan secara langsung yang bersifat intuitif dengan hakikat tunggal alam
(Allah) melalui dimensi-dimensi batiniahnya sendiri dan hal ini akan sangat
berpengaruh ketika manusia telah suci, lepas, dan jauh dari segala bentuk
ikatan-ikatan dan ketergantungan-ketergantungan lahiriah. Namun kendala atau keterbatasan
irfani antara lain adalah bahwa ia hanya dapat dinikmati oleh segelintir
manusia yang mampu sampai pada taraf pensucian diri yang tinggi. Di samping
itu, irfani sangat subjektif menilai sesuatu karena ia berdasar pada pengalaman
individu manusia. Pendekatannya yang supra-rasional, menafikan kritik atas
nalar, serta pijakannya pada logika paradoksal yang segalanya bisa diciptakan
tanpa harus berkaitan dengan sebab-sebab yang mendahuluinya, mengakibatkan
epistemologi ini kehilangan dimensi kritis dan terjebak pada nuansa magis yang
berandil besar pada kemunduran pola pikir manusia.[16]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dengan membandingkan antara model
berpikir umum dan islam, dengan demikian muncul gambaran berikut, bahwa
epistimologi umum :
1.
Model
berpikir rasional
2.
Model
berpikir empirikal
3.
Model
berpikir intuitif
Sementara model berpikir islam
adalah :
1.
Bayani
bersumber pada taks baik nash ataupun non-nash
2.
Burhani
bersumber pada akal dan empirikal
3.
Irfani
bersumber pada kasf [17]
Dengan
demikian, dapat disimpulkan terdapat tiga cara atau metode dalam epistimologi
islam untuk menangkap atau mengetahui objek-objek ilmu. Pertama, melalui
indra yang sangat kompeten untuk mengenal objek-objek fisik dengan cara
mengamatinya. Kedua, melalui akal yang mampu mengenal bukan saja
benda-benda indriawi, melainkan juga objek-objek non-fisik dengan cara
menyimpulkan dari yang telah diketahui menuju yang tidak diketahui.
Ketiga, hati yang menangkap objek-objek non-fisik atau metafisik
melalui kontak langsung dengan objek-objek yang hadir dalam jiwa seseorang.
Dengan demikian, seluruh rangkaian
wujud yang menjadi objek-objek ilmu pengetahuan yang fisik dan non-fisik dapat
diketahui oleh manusia.[18]
[1] Mulyadi
Kartanegara, Menembus waktu panorama filsafat islam, Mizan, Bandung, 2002(hlm
66)
[2] Ibid (hlm
61)
[3] Mulyadi
Kartanegara, Mengislamkan nalar, Erlangga, Jakarta, 2007 (hlm 7)
[4]
Mulyadi Kartanegara, Mengislamkan nalar, Erlangga, Jakarta, 2007 (hlm 8)
[5] Mulyadi
Kartanegara, Menembus waktu panorama filsafat islam, Mizan, Bandung, 2002 (hlm
64)
[6] Mulyadi
Kartanegara, Menembus waktu panorama filsafat islam, Mizan, Bandung, 2002 (hlm
64)
[8] Kherudin
Nasution,pengantar studi islam, tazzafa, yogyakarta (hlm 41)
[9] Kherudin
Nasution,pengantar studi islam, tazzafa, yogyakarta (hlm 42)
[11] Ibid
(hlm 43)
[12] Kherudin
Nasution,pengantar studi islam, tazzafa, yogyakarta (hlm 43)
[13] Mulyadi
kartanegara, mengislamkan nalar,erlangga, jakarta, 2007 (hlm10)
[14] Mulyadi
Kartanegara, Menembus waktu panorama filsafat islam, Mizan, Bandung, 2002 (hlm
66)
[15] Mulyadi
Kartanegara, Menembus waktu panorama filsafat islam, Mizan, Bandung, 2002 (hlm
64)
[16] ibid
[17]
Kherudin Nasution,pengantar studi islam, tazzafa, yogyakarta (hlm 45)
[18] Mulyadi
Kartanegara, Menembus waktu panorama filsafat islam, Mizan, Bandung, 2002 (hlm
66)
DAFTAR
PUSTAKA
·
Mulyadhi Kartanegara,
Mengislamkan Nalar, Erlangga, Jakarta, 2007
·
Mulyadhi
Kartanegara, Menembus batas waktu panorama filsafat Islam, Mizan, Bandung, 2002
·
William C.
Chittick, Kosmologi Islam dan dunia modern, Mizan publika, Jakarta, 2010
·
Khoiruddin
Nasution, Pengantar Studi Islam, tazzafa, Yogyakarta, 2012
·
http://sanadthkhusus.blogspot.com
Langganan:
Postingan (Atom)