FAKULTAS-FAKULTAS DI UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
SYARIAH
ADAB
TARBIYAH
FISHUM
SAINTEK
USHULUDIN
DAKWAH
Rabu, 17 Desember 2014
Sabtu, 11 Oktober 2014
Pengelompokan Keilmuan Islam Dalam Bayani Burhani dan Irfani
PENDAHULUAN
1.1
LATAR
BELAKANG MASALAH
Ilmu pengetahuan dan teknologi
menjadi kunci yang paling mendasar dari kemajuan yang diraih umat manusia,
tentunya tidak datang begitu saja tanpa ada sebuah dinamika atau pengembangan
ilmiah. Proses untuk mendapatkan ilmu pengetahuan itulah dikenal dengan istilah
epistemologis. Lebih lanjut Ahmad
Tafsir mengungkapkan bahwa Epistemologi membicarakan sumber ilmu pengetahuan
dan bagaimana cara memperoleh ilmu pengetahuan.[1]
Metode ilmiah yang dikembangkan oleh para
pemikir muslim berbeda secara signifikan dengan metode yang dikembangkan oleh
para pemikir barat. Sebab, seperti pernah dikatakan Ziaudin Sardar, sementara
para ilmuanbarat menggunakan hanya satu macam metode ilmiah, yaitu metode
observasoi, para pemikir muslim menggunakan tiga macam metode sesuai dengan
tingkat atau hiererki objek-objeknya, yaitu
(1) Bayani atau observasi,
(2) Burhani atau Logis,
(3) Irfani atau intuitif,
yang masing-masing bersumber pada indra, akal,
dan hati.[2]
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan epistemologi bayani,
burhani dan irfani?
2. Bagaimana penerapan epistimologi
bayani, burhani dan irfani ?
3. Apa saja keunggulan dan keterbatasan
epistemologi bayani, burhani dan irfani
1.3 TUJUAN PENELITIAN
- 1. Mengetahui maksud dengan metode bayani, burhani, dan irfani
- 2. Mengetahui manfaat penerapan epistimologi bayani, burhani dan irfani
- 3. Mengetahiu kelebihan dan kelemahan ketiga metode tersebut.
1.4 MANFAAT PENELITIAN
- 1. Memberikan pemahaman maksud metode bayani, burhani dan irfani
- 2. Memberikan manfaat penerapan epistimologi bayani, burhani dan irfani
- 3. Memberikan kelebihan dan kelemahan ketiga metode tersebut.
1.5 RUANG LINGKUP MASALAH
Ruang lingkup masalah sebatas menjelaskan penerapan keilmuan
islam dalam rumpun bayani, burhani dan irfani
1.6 METODE DAN TEKNIK PENELITIAN
- 1. Deskriptif
- 2. Studi pustaka
BABA II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Bayani, Burhani dan Irfani
Menurut para ilmuan Muslim, manusia
memiliki tiga macam sumber “alat” untuk menengkap keseluruhan realitas : panca
indra, akal, dan intuisi (meliputi wahyu). Sementara di lain sisi, para ilmuan barat
modern pada dasarnya hanya mengakui indra. Dengan hanya mengakui indra, mereka
mengembangkan hanya satu metode penelitian saja, yaitu metode observasi, atau
eksperimen indrawi. Metode observasi ini memang terus dikembangkan
sampaitingkat yang canggih, tetapi semuanya tetap bermuara pada penerapan
indrawi.[3]
Berbeda dengan ilmuwan-ilmuwan
barat, ilmuwan-ilmuwan muslim mengakui keabsahan bukan hanya metode observasi,
tetapi juga metode rasional (burhan) dan intuitif (irfani). Dengan kata lain,
mereka mengakui bukan hanya persepsi indrawi dalam proses pengetahuan, tetapi
juga nalar akal dan persepsi hati.
Selain panca indra, sarjana-sarjana
muslim juga mengakui akal sebagai alat untuk menangkap realitas. Dari sini
mereka mengembangkan apa yang disebut sebagai metode rasionel-demonstratif
(burhan). Seperti indra dapat menangkap objek indrawi, maka akal dapat
menangkap objek sepiritual atau metafisik secara logistik, yakni menarik
kesimpulan tentang hal-hal yang tidak diketahui dari hal-hal yang telah diketahui.
Dengan cara inilah manusia dapat melakukan refleksi dan
penelitian terhadapfenomena alam untuk menetahui keberadaan Tuhan dan ke
esaan-Nya, serta hal-hal ghaib lainnya seperti malaikat, iblis, dan alam
akhirat.[4]
Perbedaan dalam metode-metode itu
terjadi, seperti disinggung diatas, sepadan dengan perbedaan sifat dasar dari
objeknya. Untuk objek yang berkaitan fisik atau indrawi, para filosof muslim
yang pada ummumnya juga adalah ilmuan, menggunakan metode observasi, seperti Al
Kindi yang menggunakan metode observasinya di laboratorium kimia dan fisikanya,
Nashir Al-Din Thusi mengadakan pengamatan astronomi di observatoriumnya yang
amat terkenal di Maraghah, Ibnu Sina mengadakan observasinya dalam bidang
kedokteran yang dia tulis dalam bukunya yang terkenal Al Qonun fi Al Thiib.[5]
Namun,sementara barat berhenti pada
bidang-bidang fisik dalam penelitian ilmiah mereka ilmuan-ilmuan muslim yang
sekaligus juga filosof meneruskan tujuan ilmiah mereka ke bidang-bidang non
fisik,baik yang bersifat matematis maupun metafisi. Sebagaimana observasi indra
bisa keliru, dan karena itu dibutuhkan verifikasi terhadap hasil-hasilnya.
Meskipun begitu, para filosof mengakui adanya beberapa tingkat atau jenis metode
tersebut dan memandang objek-objek yang ditelitinya dapat ditangkap dengan
tepat dengan metode yang terakhir yaitu demonstratif (burhani). Menurut mereka
metode demonstratif inilah yang mereka gunakan dalam penelitian ilmiah dan
filosofis mereka.
Tapi perlu diingat bahwa akal bukan satu-satunya alat yang
bisa digunakan untuk menangkap realitas-realitas nonfisik karena selain akal,
manusia juga dikaruniai oleh Tuhan dengan “hati” atau intuisi. Dengan
pendekatan inilah disebut presensial karena objek-objeknya hadir dalam jiwa
seorang, dan karena itu modus ilmu seperti itu disebut ilmu hudhuri.[6]
B. Pengertian
Bayani
Kata
bayani berasal dari bahasa Arab yaitu “al-bayan” yang secara harfiyah bermakna
sesuatu yang jauh atau sesuatu yang terbuka. Namun secara istilah ulama berbeda
pendapat dalam mendefinisikan al-bayan, ulama ilmu balagah misalnya,
mendefinisikan sebagai sebuah ilmu yang dapat mengetahui satu arti dengan
melalui beberapa cara atau metode seperti tasybi>h (penyerupaan).
Ulama kalam mengatakan bahwa al-bayan adalah dalil yang dapat menjelaskan
hukum. Sebagian yang lain mengatakan bahwa al-bayan adalah ilmu baru yang dapat
menjelaskan sesuatu atau ilmu yang dapat mengeluarkan sesuatu dari kondisi
samar kepada kondisi jelas.[7]
Dalam epistimologi islam bayani
adalah pendekatan dengan cara menganalisis teks. Oleh karena itu, secara langsung
bayani adalah memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung
mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran. Namun secara tidak langsung bayani
berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan
penalaran.
Meski demikian, hal
ini tidak berarti akal atau rasio bisa bebas menentukan makna dan maksudnya,
tetapi tetap harus bersandar pada teks. Sehingga dalam bayani, rasio dianggap
tidak mampu memberikan pengetahuan kecuali disandarkan pada teks. Dalam perspektif
keagamaan, sasaran bidik metode bayani adalah aspek syariat.[8]
Maka sumber epistimologi bayani
adalah teks, sumber teks dalam studi islam dapat dikelompokan secara umum
menjadi dua, yakni :
1.
Teks
nash ( al-Qur’an dan as-Sunnah )
2.
Teks
non-nash yaitu berupa karya para ulama.
Objek yang umum dengan pendekatan bayani adalah :
1.
Gramatika
dan sastra ( nahwu dan balaghah )
2.
Hukum
dan teori hukum ( fiqh dan ushul fiqh )
3.
Fiologi
4.
Theologi
5.
Dalam
beberapa kasus di bidang ilmu-ilmu al-Qur’an dan hadis
Adapun
corak berpikir yang diterapkan dalam epistimologi ini cenderung deduktif,
sehingga muncul beberapa kritik terhadap epistimologi bayani, adalah munculnya
sikap :
1.
Dogmatif
2.
Defensif
3.
Apologetik
4.
Polemis
Artinya menempatkan teks yang dikaji
sebagai satu ajaran mutlak (dogma) yang harus dipatuhi, diikuti dan
dimaksimalkan, tidak boleh diperdebatkan, apalagi ditolak. Padahal teks yang
dikaji penuh dengan historisitas kita pada zaman global, post industri dan
informatika. Dengan kata lain, teks yang dikaji mestinya mendapat perhatian
ketika dikaji pada zaman kini untuk diberlakukan pada masa kini yang berbeda
konteks. Dengan begitu, mestinya model kajian bayani perlu diperkuat dengan
analisis konteks dengan melakukan konstektualisasi untuk mencari relevansi dari
nash sebagai kebutuhan untuk menjawab persoalan zaman sekarang.[9]
C. Pengertian
Burhani
Burhani
merupakan bahasa Arab yang secara harfiyah berarti mensucikan atau
menjernihkan. Menurut ulama ushul, al-burhan adalah sesuatu yang memisahkan
kebenaran dari kebatilan dan membedakan yang benar dari yang salah melalui
penjelasan.[10]
Jadi
epistemologi burhani adalah epistemologi yang berpandangan bahwa sumber
ilmu pengetahuan adalah akal. Akal menurut epistemologi ini mempunyai kemampuan
untuk menemukan berbagai pengetahuan, bahkan dalam bidang agama sekalipun akal
mampu untuk mengetahuinya, seperti masalah baik dan buruk.
Maksud
epistimologi burhani adalah, bahwa untuk mengukur benar atau tidaknya sesuatu
adalah dengan berdasarkan komponen kemampuan alamiah manusia berupa pengalaman
dan akal tanpa dasar teks wahyu suci, yang memunculkan peripatik. Maka sumber
pengetahuan dengan nalar burhami adalah realitas dan empiris; alam, sisial, dan
humanities. Artinya, ilmu diperoleh dengan hasil penelitian percobaan,
eksperimen, baik di laboratorium maupun di alam nyata, baik bersifat sosial
maupun alam. Corak yang digunakan adalah berpikir induktif, yakni generalisasi
dari hasil-hasil penelitian empiris.[11]
Sikap terhadap kedua epistimologi
bayani dan burhani bukan berarti harus dipisahkan dan hanya boleh memilih salah
satu diantaranya. Malah untuk menyelesaikan problem-problem sosial dan dalam
studiislam justru dianjurkan untuk memadukan keduanya. Dari perpaduan ini
muncul nalar abduktif, yakni mencoba memadukan model deduktif dan induktif.
Perpaduan antara hasil bacaan yang bersifat kontekstual dan hasil-hasil
penelitian empiris, justru kelak melahirkan ilmuislam yang lengkap (kompherensif),
dan kelak dapat menuntaskan problem-problem sosial kekinian dan keIndonesiaan.[12]
Jika
melihat pernyataan al-Qur'an, maka akan
dijumpai sekian banyak ayat yang memerintahkan manusia untuk menggunakan
nalarnya dalam menimbang ide yang masuk ke dalam benaknya. Banyak ayat yang
berbicara tentang hal ini dengan berbagai redaksi seperti ta'qilun, tatafakkarun,
tadabbarun, dan lain-lain. lni membuktikan bahwa akal pun mampu
meraih pengetahuan dan kebenaran selama ia digunakan dalam wilayah kerjanya.[13]
D. Pengertian
Irfani
Secara harfiyah al-‘irfan adalah mengetahui sesuatu
dengan berfikir dan mengkaji secara dalam. Dengan demikian al-‘irfan
lebih khusus dari pada al-‘ilm. Secara istilah irfani adalah pengungkapan atas pengetahuan
yang diperoleh lewat penyinaran hakikat oleh Tuhan kepada hambanya (al-kasyf)
setelah melalui riyadah.
Jadi apa yangdimaksud ialah pendekatan yang bersumber pada
intuisi (kasf/ilham). Dari irfani muncul illuminasi. Adapun prosedur ‘rfaniah
dapat digambarkan sebagai berikut. Bahwa berdasrkan literatur tasawuf, secara
garis besar kita dapat menunjukan langkah-langkah penelitian ‘irfaniah sebagai
berikut :
1.
Takhliyah
: pada tahap ini, peneliti
mengkosongkan perhatiannya dari makhluk dan memusatkan perhatiannya kepada
Allah sebagai khaliq
2.
Tahliyyah
: pada tahap ini, peneliti
memperbanyak amal saleh dan melazimkan hubungan dengan sang Khaliq lewat
ritus-ritus tertentu.
3.
Tajliyah
: pada tahap ini, peneliti
menemukan jawabanbatiniah terhadap persoalan-persoalan yang dihadapinya.
Sebagaimana paradigma lain, paradigma ‘rfaniah juga mengenal teknik-teknik yang khusus. Ada tiga teknik penelitian irfaniah :
Sebagaimana paradigma lain, paradigma ‘rfaniah juga mengenal teknik-teknik yang khusus. Ada tiga teknik penelitian irfaniah :
1.
Riyadah : rangkaian latihan dan ritu, dengan
penehapan dan prosedur tertentu.
2.
Tariqah : disini diartikan sebagai kehidupan jama’ah
yang mengikuti aliran tasawuf yang sama
3.
Ijazah : dalam penelitian ‘irfaniah,
kehadiran guru (mursyid) sangat prnting,. Mursyid membimbing murid dari tahap
satu ke tahap yang lain. Pada tahap tertentu, mirsyid memberikan wewenag
(ijazah) kepada murid.
E. Keunggulan
dan keterbatasan epistimologi bayani, burhani dan irfani
Seperti
yang telah dijelaskan diatas bahwa di dalam islam memiliki
epistemologi yang komprehensif sebagai kunci untuk mendapatkan ilmu
pengetahuan. Keunggulan bayani terletak pada kepada kebenaran teks (al-Qur’an
dan Hadis) sebagai sumber utama hukum Islam yang bersifat universal sehingga
menjadi pedoman dan patokan. Sebenarnya dalam epistimologi bayani juga
menggunakan akal, akan tetapi relatif sedikit dan sangat tergantung pada teks
yang ada. Penggunaan yang terlalu dominan atas epistemologi ini telah
menimbulkan dogma dalam kehidupan beragama, karena kurang mampu merespon
perkembangan zaman.
Hal ini
dikarenakan teks sebagai sumber yang paling mutlak, sedangkan akal pikiran
dikesampingkan, sehingga peran akal menjadi tergantung di bawah teks, dan tidak menempatkannya secara
sejajar, saling mengisi dan melengkapi dengan teks.[14]
Sistem berpikir yang berkembang epistemologinya
dikembangkan di atas semangat akal dan logika dengan beberapa penelitian akal merupakan
keunggulan epistemologi burhani. Namun Kendala yang sering dihadapi dalam
penerapan pendekatan ini adalah sering tidak sinkronnya teks dan realitas.
Produk ijtihadnya akan berbeda jika dalam perumusan utmanya teks atau konteks, sehingga masyarakat lebih
banyak memenangkan teks daripada konteks, meskipun disisi lain juga banyak yang
memenangkan konteks.[15]
Di antara keunggulan irfani adalah bahwa segala
pengetahuan yang bersumber dari intuisi-intuisi (ilham), ebih dekat dengan
kebenaran dari pada ilmu-ilmu yang digali dari argumentasi-argumentasi rasional
dan akal. Bahkan kalangan sufi menyatakan bahwa indra manusia dan pemikiran
akalnya hanya menyentuh wilayah lahiriah alamnya, namun manusia dapat
berhubungan secara langsung yang bersifat intuitif dengan hakikat tunggal alam
(Allah) melalui dimensi-dimensi batiniahnya sendiri dan hal ini akan sangat
berpengaruh ketika manusia telah suci, lepas, dan jauh dari segala bentuk
ikatan-ikatan dan ketergantungan-ketergantungan lahiriah. Namun kendala atau keterbatasan
irfani antara lain adalah bahwa ia hanya dapat dinikmati oleh segelintir
manusia yang mampu sampai pada taraf pensucian diri yang tinggi. Di samping
itu, irfani sangat subjektif menilai sesuatu karena ia berdasar pada pengalaman
individu manusia. Pendekatannya yang supra-rasional, menafikan kritik atas
nalar, serta pijakannya pada logika paradoksal yang segalanya bisa diciptakan
tanpa harus berkaitan dengan sebab-sebab yang mendahuluinya, mengakibatkan
epistemologi ini kehilangan dimensi kritis dan terjebak pada nuansa magis yang
berandil besar pada kemunduran pola pikir manusia.[16]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dengan membandingkan antara model
berpikir umum dan islam, dengan demikian muncul gambaran berikut, bahwa
epistimologi umum :
1.
Model
berpikir rasional
2.
Model
berpikir empirikal
3.
Model
berpikir intuitif
Sementara model berpikir islam
adalah :
1.
Bayani
bersumber pada taks baik nash ataupun non-nash
2.
Burhani
bersumber pada akal dan empirikal
3.
Irfani
bersumber pada kasf [17]
Dengan
demikian, dapat disimpulkan terdapat tiga cara atau metode dalam epistimologi
islam untuk menangkap atau mengetahui objek-objek ilmu. Pertama, melalui
indra yang sangat kompeten untuk mengenal objek-objek fisik dengan cara
mengamatinya. Kedua, melalui akal yang mampu mengenal bukan saja
benda-benda indriawi, melainkan juga objek-objek non-fisik dengan cara
menyimpulkan dari yang telah diketahui menuju yang tidak diketahui.
Ketiga, hati yang menangkap objek-objek non-fisik atau metafisik
melalui kontak langsung dengan objek-objek yang hadir dalam jiwa seseorang.
Dengan demikian, seluruh rangkaian
wujud yang menjadi objek-objek ilmu pengetahuan yang fisik dan non-fisik dapat
diketahui oleh manusia.[18]
[1] Mulyadi
Kartanegara, Menembus waktu panorama filsafat islam, Mizan, Bandung, 2002(hlm
66)
[2] Ibid (hlm
61)
[3] Mulyadi
Kartanegara, Mengislamkan nalar, Erlangga, Jakarta, 2007 (hlm 7)
[4]
Mulyadi Kartanegara, Mengislamkan nalar, Erlangga, Jakarta, 2007 (hlm 8)
[5] Mulyadi
Kartanegara, Menembus waktu panorama filsafat islam, Mizan, Bandung, 2002 (hlm
64)
[6] Mulyadi
Kartanegara, Menembus waktu panorama filsafat islam, Mizan, Bandung, 2002 (hlm
64)
[8] Kherudin
Nasution,pengantar studi islam, tazzafa, yogyakarta (hlm 41)
[9] Kherudin
Nasution,pengantar studi islam, tazzafa, yogyakarta (hlm 42)
[11] Ibid
(hlm 43)
[12] Kherudin
Nasution,pengantar studi islam, tazzafa, yogyakarta (hlm 43)
[13] Mulyadi
kartanegara, mengislamkan nalar,erlangga, jakarta, 2007 (hlm10)
[14] Mulyadi
Kartanegara, Menembus waktu panorama filsafat islam, Mizan, Bandung, 2002 (hlm
66)
[15] Mulyadi
Kartanegara, Menembus waktu panorama filsafat islam, Mizan, Bandung, 2002 (hlm
64)
[16] ibid
[17]
Kherudin Nasution,pengantar studi islam, tazzafa, yogyakarta (hlm 45)
[18] Mulyadi
Kartanegara, Menembus waktu panorama filsafat islam, Mizan, Bandung, 2002 (hlm
66)
DAFTAR
PUSTAKA
·
Mulyadhi Kartanegara,
Mengislamkan Nalar, Erlangga, Jakarta, 2007
·
Mulyadhi
Kartanegara, Menembus batas waktu panorama filsafat Islam, Mizan, Bandung, 2002
·
William C.
Chittick, Kosmologi Islam dan dunia modern, Mizan publika, Jakarta, 2010
·
Khoiruddin
Nasution, Pengantar Studi Islam, tazzafa, Yogyakarta, 2012
·
http://sanadthkhusus.blogspot.com
SIAPAKAH UMAR BIN ABDUL AZIZ ??
Adalah khalifah Bani Umayyah yang
berkuasa dari tahun 717 sampai 720 (selama
2–3 tahun), bliau juga mendapat julukan UMAR II.
Ayahnya adalah Abdul-Aziz bin Marwan,
gubernur Mesir dan
adik dari Khalifah Abdul-Malik.
Ibunya adalah Ummu Asim binti Asim. Umar
adalah cicit dari Khulafaur Rasyidin keduaUmar bin Khattab, dimana umat Muslim menghormatinya sebagai salah seorang Sahabat Nabi yang
paling dekat.
KISAH KHALIFAH “UMAR BIN KHATTAB” BERKAITAN TENTANG
KELAHIRAN UMAR II
"Khalifah Umar sangat
terkenal dengan kegiatannya beronda pada malam hari di sekitar daerah
kekuasaannya. Pada suatu malam beliau mendengar dialog seorang anak perempuan
dan ibunya, seorang penjual susu yang miskin.
Kata ibu “Wahai
anakku, segeralah kita tambah air dalam susu ini supaya terlihat banyak sebelum
terbit matahari”
Anaknya menjawab “Kita
tidak boleh berbuat seperti itu ibu, Amirul Mukminin melarang kita berbuat
begini”
Si ibu masih mendesak “Tidak
mengapa, Amirul Mukminin tidak akan tahu”.
Balas si anak “Jika Amirul
Mukminin tidak tahu, tapi Tuhan Amirul Mukminin tahu”.
Umar yang
mendengar kemudian menangis. Betapa mulianya hati anak gadis itu.
Ketika pulang ke rumah, Umar bin
Khattab menyuruh anak lelakinya, Asim menikahi
gadis itu.
Kata Umar,
"Semoga lahir dari keturunan gadis ini bakal pemimpin Islam yang hebat
kelak yang akan memimpin orang-orang Arab dan Ajam”.
Asim yang taat tanpa
banyak tanya segera menikahi gadis miskin tersebut. Pernikahan ini melahirkan
anak perempuan bernama Laila yang lebih dikenal dengan sebutan Ummu
Asim. Ketika dewasa Ummu Asim menikah dengan Abdul-Aziz bin Marwan yang
melahirkan Umar bin Abdul-Aziz.
DIANGKATNYA UMAR BIN
AMDUL AZIZ MENJADI KHALIFAH
Seluruh umat Islam berkumpul di dalam masjid dalam
keadaan bertanya-tanya, siapa khalifah mereka yang baru. Raja’ Ibn Haiwah
mengumumkan, "Bangunlah wahai Umar bin Abdul-Aziz, sesungguhnya nama
engkaulah yang tertulis dalam surat ini".
Umar bin Abdul-Aziz bangkit seraya berkata, "Wahai manusia, sesungguhnya jabatan ini diberikan kepadaku tanpa bermusyawarah dahulu denganku dan tanpa pernah aku memintanya, sesungguhnya aku mencabut bai’ah yang ada dileher kamu dan pilihlah siapa yang kalian kehendaki".
Umat tetap menghendaki Umar sebagai khalifah dan Umar menerima dengan hati yang berat, hati yang takut kepada Allah dan tangisan. Segala keistimewaan sebagai khalifah ditolak dan Umar pulang ke rumah.
Ketika pulang ke rumah, Umar berfikir tentang tugas baru untuk memerintah seluruh daerah Islam yang luas dalam kelelahan setelah mengurus jenazah Khalifah Sulaiman bin Abdul-Malik. Ia berniat untuk tidur.
Pada saat itulah anaknya yang berusia 15 tahun, Abdul-Malik masuk melihat ayahnya dan berkata, "Apakah yang sedang engkau lakukan wahai Amirul Mukminin?".
Umar bin Abdul-Aziz bangkit seraya berkata, "Wahai manusia, sesungguhnya jabatan ini diberikan kepadaku tanpa bermusyawarah dahulu denganku dan tanpa pernah aku memintanya, sesungguhnya aku mencabut bai’ah yang ada dileher kamu dan pilihlah siapa yang kalian kehendaki".
Umat tetap menghendaki Umar sebagai khalifah dan Umar menerima dengan hati yang berat, hati yang takut kepada Allah dan tangisan. Segala keistimewaan sebagai khalifah ditolak dan Umar pulang ke rumah.
Ketika pulang ke rumah, Umar berfikir tentang tugas baru untuk memerintah seluruh daerah Islam yang luas dalam kelelahan setelah mengurus jenazah Khalifah Sulaiman bin Abdul-Malik. Ia berniat untuk tidur.
Pada saat itulah anaknya yang berusia 15 tahun, Abdul-Malik masuk melihat ayahnya dan berkata, "Apakah yang sedang engkau lakukan wahai Amirul Mukminin?".
Umar menjawab, "Wahai anakku, ayahmu letih
mengurusi jenazah bapak saudaramu dan ayahmu tidak pernah merasakan keletihan
seperti ini".
"Jadi apa engkau akan buat wahai ayah?",
Tanya anaknya ingin tahu.
Umar membalas, "Ayah akan tidur sebentar hingga
masuk waktu zuhur, kemudian ayah akan keluar untuk salat bersama rakyat".
Apa pula kata anaknya apabila mengetahui ayahnya
Amirul Mukminin yang baru “Ayah, siapa pula yang menjamin ayah masih hidup
sehingga waktu zuhur nanti sedangkan sekarang adalah tanggungjawab Amirul
Mukminin mengembalikan hak-hak orang yang dizalimi” Umar ibn Abdul Aziz terus
terbangun dan membatalkan niat untuk tidur, beliau memanggil anaknya mendekati
beliau, mengucup kedua belah mata anaknya sambil berkata “Segala puji bagi
Allah yang mengeluarkan dari keturunanku, orang yang menolong aku di atas
agamaku”
KISAH TELADAN UMAR BIN
ABDUL AZIZ DAN LAMPU ISTANA
Suatu malam, Umar
bin Abdul Aziz terlihat sibuk merampungkan sejumlah tugas di ruang kerja
istananya. Tak dinyana, putranya masuk ruangan dan hendak membicarakan sesuatu.
”Untuk urusan apa putraku datang ke sini: urusan negarakah atau keluargakah?” tanya Umar.
”Urusan keluarga, ayahanda,” jawab si anak.
Tiba-tiba Umar mematikan lampu penerang di atas mejanya. Seketika suasana menjadi gelap.
”Kenapa ayah memadamkan lampu itu?” tanya putranya merasa heran.
”Putraku, lampu yang sedang ayah pakai bekerja ini milik negara. Minyak yang digunakan juga dibeli dengan uang negara. Sementara perkara yang akan kita bahas adalah urusan keluarga,” jelas Umar.
Umar kemudian meminta pembantunya mengambil lampu dari ruang dalam.
"Nah, sekarang lampu yang kita nyalakan ini adalah milik keluarga kita. Minyaknya pun dibeli dengan uang kita sendiri. Silakan putraku memulai pembicaraan dengan ayah."
”Untuk urusan apa putraku datang ke sini: urusan negarakah atau keluargakah?” tanya Umar.
”Urusan keluarga, ayahanda,” jawab si anak.
Tiba-tiba Umar mematikan lampu penerang di atas mejanya. Seketika suasana menjadi gelap.
”Kenapa ayah memadamkan lampu itu?” tanya putranya merasa heran.
”Putraku, lampu yang sedang ayah pakai bekerja ini milik negara. Minyak yang digunakan juga dibeli dengan uang negara. Sementara perkara yang akan kita bahas adalah urusan keluarga,” jelas Umar.
Umar kemudian meminta pembantunya mengambil lampu dari ruang dalam.
"Nah, sekarang lampu yang kita nyalakan ini adalah milik keluarga kita. Minyaknya pun dibeli dengan uang kita sendiri. Silakan putraku memulai pembicaraan dengan ayah."
KEJAYAAN KEPEMIMPINAN UMAR BIN ABDUL AZIZ
Perlu diingat bahwa berdirinya Bani Umayyah, ketika itu umat
islam terpecah menjadi beberapa kelompok, dan muncul beberapa aliran yang
saling menjatuhkan satu sama lain diantara mereka terkait masalah pemerintahan,
terutama aliran yang muncul dari kalangan pendukung keluarga Ali bin Abi
Thalib. Sehingga ketika diangkatnya Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah bani
Umayyah menggantikan Sulaiman, beliau menyatakan bahwa memperbaiki dan
meningkatkan negeri yang berada di wilayah islam lebih baik dari pada menambah
perluasannya. Ini berarti bahwa prioritas utama adalah pembangunan dalam negri,
bliau pun berhasil menjalin hubungan baik dengan golongan Syi’ah dan golongan
oposisi lain. Bliau juga memberi kebebasan kepada penganut agama lain untuk
beribadah sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya.
Adapun keberhasilan yang telah tercapai pada masa
pemerintahannya adalah sebagai berikut:
a. Meningkatkan Ukhuwah Islamiyah
Dalam rangka meningkatkan rasa ukhuwah Islamiyah pertama-tama beliau melarang memusuhi keturunan Ali bin Abi Thalib. Selain itu beliau juga menghapuskan perlakuan istimewa terhadap suku bangsa Arab dan Bani Umayyah. Beliau menganggap semua suku adalah sama, yang penting mereka adalah muslim, karena yang diperlukan adalah loyalitasnya terhadap Negara dan bangsa. Dengan demikian, rasa persaudaraan akan semakin terjalin keakraban dan tidak saling memusuhi.
b. Cinta Terhadap Ilmu Pengetahuan
Pada masa kepemimpinan beliau perkembangan dan kemajuan bidang ilmu pengatahuan semakin meningkat, terutama dalam bidang ilmu pengatahuan agama.
Sejak kecil beliau sudah belajar dan mempelajari isi kandungan Al-Qur’an. Bahkan tidak hanya sampai disitu saja, beliau juga mempelajari hadits-hadits dan menyaringnya, sebab ada kemungkinan hadits-hadits yang beredar pada saat itu banyak yang dimanipulasi demi kepentingan Negara.
Penerjemahan buku-buku yang dilakukan secara besar-besaran, baik buku tentang ilmu pengetahuan agama maupun ilmu pengetahuan umum, menjadikan perkembangan dan kemauan ilmu pengetahuan semakin maju dan berkembang.
c. Perbaikan Ekonomi
Dalam memperbaiki ekonomi negara, beliau telah membatalkan ketetapan hadiah atas tanah dan kekayaan Negara yang telah diberikan khalifah sebelumnya kepada orang-orang tertentu. Semua harta kekayaan tertentu diambil kembali oleh Negara dan dijadikan harta kekayaan “Baitul Mal”. Selain itu ketetapan pajak yang telah dilakukan oleh Gubernur Hajjaj bin Yusuf di Irak dan Iran dibatalkan. Karena pajak yang diberlakukan oleh kedua Gubernur ini menurut beliau sebuah pendzaliman terhadap rakyat sendiri.
Tidak hanya itu, beliau juga melakukan perbaikan diberbagai bidang yang meliputi: pertanian, perdagangan dan pengamana lalu lintas perjalanan khalifah. Dengan demikian kebijakan yang dilakukan oleh beliau telah menstabilkan roda perekonomian masyarakat, sehingga kebutuhan sehari-hari rakyatnya bisa tercukupi.
d. Mengadakan Penertiban Aparatur Pemerintahan
Usaha penertiban yang dilakukan oleh beliau adalah sebagai berikut:
1. Memperkecil pengeluaran belanja negara yang tidak begitu penting dan melarang hidup bermewah-mewahan.
2. Membasmi korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
3. Memecat orang-orang yang tidak mempunyai loyalitas terhadap Negara.
4. Memperbaiki gaji tentara, gubernur dan pegawai baitul mal.
Dengan adanya perbaikan gaji “Renumerasi” pegawai ini, maka para pejabat dan para pegawai tidak diperkenankan lagi mengurusi sesuatu di luar kepentingan Negara. Mereka diwajibkan mencurahkan segala perhatiaannya untuk kepentingan Negara dan rakyatnya.
HARI-HARI TERAKHIR
Umar bin
Abdul-Aziz wafat disebabkan oleh sakit akibat diracun oleh pembantunya. Umat
Islam datang berziarah melihat kedhaifan hidup khalifah sehingga ditegur oleh
menteri kepada isterinya, "Gantilah baju khalifah itu",
dibalas isterinya, "Itu saja pakaian yang khalifah miliki".
Apabila
beliau ditanya “Wahai Amirul Mukminin, tidakkah engkau mau mewasiatkan sesuatu
kepada anak-anakmu?”
Umar
Abdul Aziz menjawab: "Apa yang ingin kuwasiatkan? Aku tidak memiliki
apa-apa"
"Mengapa
engkau tinggalkan anak-anakmu dalam keadaan tidak memiliki?"
"Jika
anak-anakku orang soleh, Allah lah yang menguruskan orang-orang soleh. Jika
mereka orang-orang yang tidak soleh, aku tidak mau meninggalkan hartaku di
tangan orang yang mendurhakai Allah lalu menggunakan hartaku untuk mendurhakai
Allah"
Pada
waktu lain, Umar bin Abdul-Aziz memanggil semua anaknya dan berkata:
"Wahai anak-anakku, sesungguhnya ayahmu telah diberi dua pilihan,
pertama : menjadikan kamu semua kaya dan ayah masuk ke dalam neraka,
kedua: kamu miskin seperti sekarang dan ayah masuk ke dalam surga (kerana tidak
menggunakan uang rakyat). Sesungguhnya wahai anak-anakku, aku telah memilih
surga." (beliau tidak berkata : aku telah memilih kamu susah)
Anak-anaknya
ditinggalkan tidak berharta dibandingkan anak-anak gubernur lain yang kaya.
Setelah kejatuhan Bani Umayyah dan masa-masa setelahnya, keturunan
Umar bin Abdul-Aziz adalah golongan yang kaya berkat doa dan tawakkal Umar bin
Abdul-Aziz.
“Puncak kejayaan di
berbagai bidang tak lantas membuat Umar bin Abdul Aziz terperdaya. Meski
prestasinya banyak dipuji, pemimpin berjuluk ”khalifah kelima” ini tetap
bersahaja, amanah, dan sangat hati-hati mengelola aset negara”.
Semoga kita dapat meneladani dan kita doakan agar para pejabat di negeri ini dapat mencontoh perilaku dan ketaatan dari Khalifah Umar Bin Abdul Aziz. Aamiin Yaa Rabbal 'Aalamiin
Semoga kita dapat meneladani dan kita doakan agar para pejabat di negeri ini dapat mencontoh perilaku dan ketaatan dari Khalifah Umar Bin Abdul Aziz. Aamiin Yaa Rabbal 'Aalamiin
Langganan:
Postingan (Atom)