Rabu, 17 Desember 2014

FAKULTAS-FAKULTAS DI UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
SYARIAH
ADAB
TARBIYAH
FISHUM
SAINTEK
USHULUDIN
DAKWAH

Sabtu, 11 Oktober 2014

Pengelompokan Keilmuan Islam Dalam Bayani Burhani dan Irfani

BAB I
PENDAHULUAN


1.1  LATAR BELAKANG MASALAH

Ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi kunci yang paling mendasar dari kemajuan yang diraih umat manusia, tentunya tidak datang begitu saja tanpa ada sebuah dinamika atau pengembangan ilmiah. Proses untuk mendapatkan ilmu pengetahuan itulah dikenal dengan istilah epistemologis. Lebih lanjut Ahmad Tafsir mengungkapkan bahwa Epistemologi membicarakan sumber ilmu pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh ilmu pengetahuan.[1]
Metode ilmiah yang dikembangkan oleh para pemikir muslim berbeda secara signifikan dengan metode yang dikembangkan oleh para pemikir barat. Sebab, seperti pernah dikatakan Ziaudin Sardar, sementara para ilmuanbarat menggunakan hanya satu macam metode ilmiah, yaitu metode observasoi, para pemikir muslim menggunakan tiga macam metode sesuai dengan tingkat atau hiererki objek-objeknya, yaitu
(1) Bayani atau observasi,
(2) Burhani atau Logis,
(3) Irfani atau intuitif,
yang masing-masing bersumber pada indra, akal, dan hati.[2]

1.2  RUMUSAN MASALAH
1.        Apa sebenarnya yang dimaksud dengan epistemologi bayani, burhani dan irfani?
2.      Bagaimana penerapan epistimologi bayani, burhani dan irfani ?
3.      Apa saja keunggulan dan keterbatasan epistemologi bayani, burhani dan irfani
1.3  TUJUAN PENELITIAN
  1. 1.      Mengetahui maksud dengan metode bayani, burhani, dan irfani
  2. 2.      Mengetahui manfaat penerapan epistimologi bayani, burhani dan irfani
  3. 3.      Mengetahiu kelebihan dan kelemahan ketiga metode tersebut.



1.4  MANFAAT PENELITIAN

  1. 1.      Memberikan pemahaman maksud metode bayani, burhani dan irfani
  2. 2.      Memberikan manfaat penerapan epistimologi bayani, burhani dan irfani
  3. 3.      Memberikan kelebihan dan kelemahan ketiga metode tersebut.

1.5  RUANG LINGKUP MASALAH
Ruang lingkup masalah sebatas menjelaskan penerapan keilmuan islam dalam rumpun bayani, burhani dan irfani

1.6  METODE DAN TEKNIK PENELITIAN

  1. 1.      Deskriptif
  2. 2.      Studi pustaka


BABA II
PEMBAHASAN

             A.  Pengertian Bayani, Burhani dan Irfani
Menurut para ilmuan Muslim, manusia memiliki tiga macam sumber “alat” untuk menengkap keseluruhan realitas : panca indra, akal, dan intuisi (meliputi wahyu). Sementara di lain sisi, para ilmuan barat modern pada dasarnya hanya mengakui indra. Dengan hanya mengakui indra, mereka mengembangkan hanya satu metode penelitian saja, yaitu metode observasi, atau eksperimen indrawi. Metode observasi ini memang terus dikembangkan sampaitingkat yang canggih, tetapi semuanya tetap bermuara pada penerapan indrawi.[3]
Berbeda dengan ilmuwan-ilmuwan barat, ilmuwan-ilmuwan muslim mengakui keabsahan bukan hanya metode observasi, tetapi juga metode rasional (burhan) dan intuitif (irfani). Dengan kata lain, mereka mengakui bukan hanya persepsi indrawi dalam proses pengetahuan, tetapi juga nalar akal dan persepsi hati.
Selain panca indra, sarjana-sarjana muslim juga mengakui akal sebagai alat untuk menangkap realitas. Dari sini mereka mengembangkan apa yang disebut sebagai metode rasionel-demonstratif (burhan). Seperti indra dapat menangkap objek indrawi, maka akal dapat menangkap objek sepiritual atau metafisik secara logistik, yakni menarik kesimpulan tentang hal-hal yang tidak diketahui dari hal-hal yang telah diketahui.
Dengan cara inilah manusia dapat melakukan refleksi dan penelitian terhadapfenomena alam untuk menetahui keberadaan Tuhan dan ke esaan-Nya, serta hal-hal ghaib lainnya seperti malaikat, iblis, dan alam akhirat.[4]
Perbedaan dalam metode-metode itu terjadi, seperti disinggung diatas, sepadan dengan perbedaan sifat dasar dari objeknya. Untuk objek yang berkaitan fisik atau indrawi, para filosof muslim yang pada ummumnya juga adalah ilmuan, menggunakan metode observasi, seperti Al Kindi yang menggunakan metode observasinya di laboratorium kimia dan fisikanya, Nashir Al-Din Thusi mengadakan pengamatan astronomi di observatoriumnya yang amat terkenal di Maraghah, Ibnu Sina mengadakan observasinya dalam bidang kedokteran yang dia tulis dalam bukunya yang terkenal Al Qonun fi Al Thiib.[5]
Namun,sementara barat berhenti pada bidang-bidang fisik dalam penelitian ilmiah mereka ilmuan-ilmuan muslim yang sekaligus juga filosof meneruskan tujuan ilmiah mereka ke bidang-bidang non fisik,baik yang bersifat matematis maupun metafisi. Sebagaimana observasi indra bisa keliru, dan karena itu dibutuhkan verifikasi terhadap hasil-hasilnya. Meskipun begitu, para filosof mengakui adanya beberapa tingkat atau jenis metode tersebut dan memandang objek-objek yang ditelitinya dapat ditangkap dengan tepat dengan metode yang terakhir yaitu demonstratif (burhani). Menurut mereka metode demonstratif inilah yang mereka gunakan dalam penelitian ilmiah dan filosofis mereka.
Tapi perlu diingat bahwa akal bukan satu-satunya alat yang bisa digunakan untuk menangkap realitas-realitas nonfisik karena selain akal, manusia juga dikaruniai oleh Tuhan dengan “hati” atau intuisi. Dengan pendekatan inilah disebut presensial karena objek-objeknya hadir dalam jiwa seorang, dan karena itu modus ilmu seperti itu disebut ilmu hudhuri.[6]


             B.   Pengertian Bayani
Kata bayani berasal dari bahasa Arab yaitu “al-bayan” yang secara harfiyah bermakna sesuatu yang jauh atau sesuatu yang terbuka. Namun secara istilah ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan al-bayan, ulama ilmu balagah misalnya, mendefinisikan sebagai sebuah ilmu yang dapat mengetahui satu arti dengan melalui beberapa cara atau metode seperti tasybi>h (penyerupaan). Ulama kalam mengatakan bahwa al-bayan adalah dalil yang dapat menjelaskan hukum. Sebagian yang lain mengatakan bahwa al-bayan adalah ilmu baru yang dapat menjelaskan sesuatu atau ilmu yang dapat mengeluarkan sesuatu dari kondisi samar kepada kondisi jelas.[7]
Dalam epistimologi islam bayani adalah pendekatan dengan cara menganalisis teks. Oleh karena itu, secara langsung bayani adalah memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran. Namun secara tidak langsung bayani berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran.
Meski demikian, hal ini tidak berarti akal atau rasio bisa bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi tetap harus bersandar pada teks. Sehingga dalam bayani, rasio dianggap tidak mampu memberikan pengetahuan kecuali disandarkan pada teks. Dalam perspektif keagamaan, sasaran bidik metode bayani adalah aspek syariat.[8]
Maka sumber epistimologi bayani adalah teks, sumber teks dalam studi islam dapat dikelompokan secara umum menjadi dua, yakni :
1.                  Teks nash ( al-Qur’an dan as-Sunnah )
2.                  Teks non-nash yaitu berupa karya para ulama.

Objek yang umum dengan pendekatan bayani adalah :
1.                  Gramatika dan sastra ( nahwu dan balaghah )
2.                  Hukum dan teori hukum ( fiqh dan ushul fiqh )
3.                  Fiologi
4.                  Theologi
5.                  Dalam beberapa kasus di bidang ilmu-ilmu al-Qur’an dan hadis
Adapun corak berpikir yang diterapkan dalam epistimologi ini cenderung deduktif, sehingga muncul beberapa kritik terhadap epistimologi bayani, adalah munculnya sikap :
1.                  Dogmatif
2.                  Defensif
3.                  Apologetik
4.                  Polemis
Artinya menempatkan teks yang dikaji sebagai satu ajaran mutlak (dogma) yang harus dipatuhi, diikuti dan dimaksimalkan, tidak boleh diperdebatkan, apalagi ditolak. Padahal teks yang dikaji penuh dengan historisitas kita pada zaman global, post industri dan informatika. Dengan kata lain, teks yang dikaji mestinya mendapat perhatian ketika dikaji pada zaman kini untuk diberlakukan pada masa kini yang berbeda konteks. Dengan begitu, mestinya model kajian bayani perlu diperkuat dengan analisis konteks dengan melakukan konstektualisasi untuk mencari relevansi dari nash sebagai kebutuhan untuk menjawab persoalan zaman sekarang.[9]


             C. Pengertian Burhani
Burhani merupakan bahasa Arab yang secara harfiyah berarti mensucikan atau menjernihkan. Menurut ulama ushul, al-burhan adalah sesuatu yang memisahkan kebenaran dari kebatilan dan membedakan yang benar dari yang salah melalui penjelasan.[10]
Jadi epistemologi burhani adalah epistemologi yang berpandangan bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah akal. Akal menurut epistemologi ini mempunyai kemampuan untuk menemukan berbagai pengetahuan, bahkan dalam bidang agama sekalipun akal mampu untuk mengetahuinya, seperti masalah baik dan buruk.

Maksud epistimologi burhani adalah, bahwa untuk mengukur benar atau tidaknya sesuatu adalah dengan berdasarkan komponen kemampuan alamiah manusia berupa pengalaman dan akal tanpa dasar teks wahyu suci, yang memunculkan peripatik. Maka sumber pengetahuan dengan nalar burhami adalah realitas dan empiris; alam, sisial, dan humanities. Artinya, ilmu diperoleh dengan hasil penelitian percobaan, eksperimen, baik di laboratorium maupun di alam nyata, baik bersifat sosial maupun alam. Corak yang digunakan adalah berpikir induktif, yakni generalisasi dari hasil-hasil penelitian empiris.[11]
Sikap terhadap kedua epistimologi bayani dan burhani bukan berarti harus dipisahkan dan hanya boleh memilih salah satu diantaranya. Malah untuk menyelesaikan problem-problem sosial dan dalam studiislam justru dianjurkan untuk memadukan keduanya. Dari perpaduan ini muncul nalar abduktif, yakni mencoba memadukan model deduktif dan induktif. Perpaduan antara hasil bacaan yang bersifat kontekstual dan hasil-hasil penelitian empiris, justru kelak melahirkan ilmuislam yang lengkap (kompherensif), dan kelak dapat menuntaskan problem-problem sosial kekinian dan keIndonesiaan.[12]
Jika melihat pernyataan al-Qur'an, maka akan  dijumpai sekian banyak ayat yang memerintahkan manusia untuk menggunakan nalarnya  dalam menimbang ide yang masuk ke dalam benaknya. Banyak ayat yang berbicara tentang hal ini dengan berbagai redaksi seperti ta'qilun, tatafakkarun, tadabbarun, dan lain-lain.  lni membuktikan bahwa akal pun mampu meraih pengetahuan dan kebenaran selama ia digunakan dalam wilayah kerjanya.[13]


             D. Pengertian Irfani
Secara harfiyah al-‘irfan adalah mengetahui sesuatu dengan berfikir dan mengkaji secara dalam. Dengan demikian al-‘irfan lebih khusus dari pada al-‘ilm. Secara istilah  irfani adalah pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakikat oleh Tuhan kepada hambanya (al-kasyf) setelah melalui riyadah.
Jadi apa yangdimaksud ialah pendekatan yang bersumber pada intuisi (kasf/ilham). Dari irfani muncul illuminasi. Adapun prosedur ‘rfaniah dapat digambarkan sebagai berikut. Bahwa berdasrkan literatur tasawuf, secara garis besar kita dapat menunjukan langkah-langkah penelitian ‘irfaniah sebagai berikut :
1.                    Takhliyah        : pada tahap ini, peneliti mengkosongkan perhatiannya dari makhluk dan memusatkan perhatiannya kepada Allah sebagai khaliq
2.                    Tahliyyah        : pada tahap ini, peneliti memperbanyak amal saleh dan melazimkan hubungan dengan sang Khaliq lewat ritus-ritus tertentu.
3.                    Tajliyah           : pada tahap ini, peneliti menemukan jawabanbatiniah terhadap persoalan-persoalan yang dihadapinya.
Sebagaimana paradigma lain, paradigma ‘rfaniah juga mengenal teknik-teknik yang khusus. Ada tiga teknik penelitian irfaniah :
1.      Riyadah           : rangkaian latihan dan ritu, dengan penehapan dan prosedur tertentu.
2.      Tariqah : disini diartikan sebagai kehidupan jama’ah yang mengikuti aliran tasawuf yang sama
3.      Ijazah               : dalam penelitian ‘irfaniah, kehadiran guru (mursyid) sangat prnting,. Mursyid membimbing murid dari tahap satu ke tahap yang lain. Pada tahap tertentu, mirsyid memberikan wewenag (ijazah) kepada murid.

            E. Keunggulan dan keterbatasan epistimologi bayani, burhani dan irfani

Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa di dalam islam memiliki epistemologi yang komprehensif sebagai kunci untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Keunggulan bayani terletak pada kepada kebenaran teks (al-Qur’an dan Hadis) sebagai sumber utama hukum Islam yang bersifat universal sehingga menjadi pedoman dan patokan. Sebenarnya dalam epistimologi bayani juga menggunakan akal, akan tetapi relatif sedikit dan sangat tergantung pada teks yang ada. Penggunaan yang terlalu dominan atas epistemologi ini telah menimbulkan dogma dalam kehidupan beragama, karena kurang mampu merespon perkembangan zaman.

Hal ini dikarenakan teks sebagai sumber yang paling mutlak, sedangkan akal pikiran dikesampingkan, sehingga peran akal menjadi tergantung di bawah  teks, dan tidak menempatkannya secara sejajar, saling mengisi dan melengkapi dengan teks.[14]

Sistem berpikir yang berkembang epistemologinya dikembangkan di atas semangat akal dan logika dengan beberapa penelitian akal  merupakan keunggulan epistemologi burhani. Namun Kendala yang sering dihadapi dalam penerapan pendekatan ini adalah sering tidak sinkronnya teks dan realitas. Produk ijtihadnya akan berbeda jika dalam perumusan utmanya  teks atau konteks, sehingga masyarakat lebih banyak memenangkan teks daripada konteks, meskipun disisi lain juga banyak yang memenangkan konteks.[15]
Di antara keunggulan irfani adalah bahwa segala pengetahuan yang bersumber dari intuisi-intuisi (ilham), ebih dekat dengan kebenaran dari pada ilmu-ilmu yang digali dari argumentasi-argumentasi rasional dan akal. Bahkan kalangan sufi menyatakan bahwa indra manusia dan pemikiran akalnya hanya menyentuh wilayah lahiriah alamnya, namun manusia dapat berhubungan secara langsung yang bersifat intuitif dengan hakikat tunggal alam (Allah) melalui dimensi-dimensi batiniahnya sendiri dan hal ini akan sangat berpengaruh ketika manusia telah suci, lepas, dan jauh dari segala bentuk ikatan-ikatan dan ketergantungan-ketergantungan lahiriah. Namun kendala atau keterbatasan irfani antara lain adalah bahwa ia hanya dapat dinikmati oleh segelintir manusia yang mampu sampai pada taraf pensucian diri yang tinggi. Di samping itu, irfani sangat subjektif menilai sesuatu karena ia berdasar pada pengalaman individu manusia. Pendekatannya yang supra-rasional, menafikan kritik atas nalar, serta pijakannya pada logika paradoksal yang segalanya bisa diciptakan tanpa harus berkaitan dengan sebab-sebab yang mendahuluinya, mengakibatkan epistemologi ini kehilangan dimensi kritis dan terjebak pada nuansa magis yang berandil besar pada kemunduran pola pikir manusia.[16]
BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan
Dengan membandingkan antara model berpikir umum dan islam, dengan demikian muncul gambaran berikut, bahwa epistimologi umum :
1.      Model berpikir rasional
2.      Model berpikir empirikal
3.      Model berpikir intuitif
Sementara model berpikir islam adalah :
1.      Bayani bersumber pada taks baik nash ataupun non-nash
2.      Burhani bersumber pada akal dan empirikal
3.      Irfani bersumber pada kasf [17]

Dengan demikian, dapat disimpulkan terdapat tiga cara atau metode dalam epistimologi islam untuk menangkap atau mengetahui objek-objek ilmu. Pertama, melalui indra yang sangat kompeten untuk mengenal objek-objek fisik dengan cara mengamatinya. Kedua, melalui akal yang mampu mengenal bukan saja benda-benda indriawi, melainkan juga objek-objek non-fisik dengan cara menyimpulkan dari yang telah diketahui menuju yang tidak diketahui.
Ketiga, hati yang menangkap objek-objek non-fisik atau metafisik melalui kontak langsung dengan objek-objek yang hadir dalam jiwa seseorang.

Dengan demikian, seluruh rangkaian wujud yang menjadi objek-objek ilmu pengetahuan yang fisik dan non-fisik dapat diketahui oleh manusia.[18]




[1] Mulyadi Kartanegara, Menembus waktu panorama filsafat islam, Mizan, Bandung, 2002(hlm 66)
[2] Ibid (hlm 61)
[3] Mulyadi Kartanegara, Mengislamkan nalar, Erlangga, Jakarta, 2007 (hlm 7)
[4] Mulyadi Kartanegara, Mengislamkan nalar, Erlangga, Jakarta, 2007 (hlm 8)
[5] Mulyadi Kartanegara, Menembus waktu panorama filsafat islam, Mizan, Bandung, 2002 (hlm 64)
[6] Mulyadi Kartanegara, Menembus waktu panorama filsafat islam, Mizan, Bandung, 2002 (hlm 64)
[8] Kherudin Nasution,pengantar studi islam, tazzafa, yogyakarta (hlm 41)
[9] Kherudin Nasution,pengantar studi islam, tazzafa, yogyakarta (hlm 42)
[11] Ibid (hlm 43)
[12] Kherudin Nasution,pengantar studi islam, tazzafa, yogyakarta (hlm 43)
[13] Mulyadi kartanegara, mengislamkan nalar,erlangga, jakarta, 2007 (hlm10)
[14] Mulyadi Kartanegara, Menembus waktu panorama filsafat islam, Mizan, Bandung, 2002 (hlm 66)

[15] Mulyadi Kartanegara, Menembus waktu panorama filsafat islam, Mizan, Bandung, 2002 (hlm 64)
[16] ibid
[17] Kherudin Nasution,pengantar studi islam, tazzafa, yogyakarta (hlm 45)
[18] Mulyadi Kartanegara, Menembus waktu panorama filsafat islam, Mizan, Bandung, 2002 (hlm 66)


DAFTAR PUSTAKA


·         Mulyadhi Kartanegara, Mengislamkan Nalar, Erlangga, Jakarta, 2007
·         Mulyadhi Kartanegara, Menembus batas waktu panorama filsafat Islam, Mizan, Bandung, 2002
·         William C. Chittick, Kosmologi Islam dan dunia modern, Mizan publika, Jakarta, 2010
·         Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam, tazzafa, Yogyakarta, 2012
·         http://sanadthkhusus.blogspot.com























SIAPAKAH UMAR BIN ABDUL AZIZ ??


Adalah khalifah Bani Umayyah yang berkuasa dari tahun 717 sampai 720 (selama 2–3 tahun), bliau juga mendapat julukan UMAR II.
Ayahnya adalah Abdul-Aziz bin Marwan, gubernur Mesir dan adik dari Khalifah Abdul-Malik. Ibunya adalah Ummu Asim binti Asim. Umar adalah cicit dari Khulafaur Rasyidin keduaUmar bin Khattab, dimana umat Muslim menghormatinya sebagai salah seorang Sahabat Nabi yang paling dekat.

KISAH KHALIFAH “UMAR BIN KHATTAB” BERKAITAN TENTANG KELAHIRAN UMAR II

"Khalifah Umar sangat terkenal dengan kegiatannya beronda pada malam hari di sekitar daerah kekuasaannya. Pada suatu malam beliau mendengar dialog seorang anak perempuan dan ibunya, seorang penjual susu yang miskin.
Kata ibu “Wahai anakku, segeralah kita tambah air dalam susu ini supaya terlihat banyak sebelum terbit matahari
Anaknya menjawab “Kita tidak boleh berbuat seperti itu ibu, Amirul Mukminin melarang kita berbuat begini
Si ibu masih mendesak “Tidak mengapa, Amirul Mukminin tidak akan tahu”.
Balas si anak “Jika Amirul Mukminin tidak tahu, tapi Tuhan Amirul Mukminin tahu”.
Umar yang mendengar kemudian menangis. Betapa mulianya hati anak gadis itu.
Ketika pulang ke rumah, Umar bin Khattab menyuruh anak lelakinya, Asim menikahi gadis itu.
Kata Umar, "Semoga lahir dari keturunan gadis ini bakal pemimpin Islam yang hebat kelak yang akan memimpin orang-orang Arab dan Ajam”.
Asim yang taat tanpa banyak tanya segera menikahi gadis miskin tersebut. Pernikahan ini melahirkan anak perempuan bernama Laila yang lebih dikenal dengan sebutan Ummu Asim. Ketika dewasa Ummu Asim menikah dengan Abdul-Aziz bin Marwan yang melahirkan Umar bin Abdul-Aziz.

DIANGKATNYA UMAR BIN AMDUL AZIZ MENJADI KHALIFAH

Seluruh umat Islam berkumpul di dalam masjid dalam keadaan bertanya-tanya, siapa khalifah mereka yang baru. Raja’ Ibn Haiwah mengumumkan, "Bangunlah wahai Umar bin Abdul-Aziz, sesungguhnya nama engkaulah yang tertulis dalam surat ini".
Umar bin Abdul-Aziz bangkit seraya berkata, "Wahai manusia, sesungguhnya jabatan ini diberikan kepadaku tanpa bermusyawarah dahulu denganku dan tanpa pernah aku memintanya, sesungguhnya aku mencabut bai’ah yang ada dileher kamu dan pilihlah siapa yang kalian kehendaki".
Umat tetap menghendaki Umar sebagai khalifah dan Umar menerima dengan hati yang berat, hati yang takut kepada Allah dan tangisan. Segala keistimewaan sebagai khalifah ditolak dan Umar pulang ke rumah.
Ketika pulang ke rumah, Umar berfikir tentang tugas baru untuk memerintah seluruh daerah Islam yang luas dalam kelelahan setelah mengurus jenazah Khalifah Sulaiman bin Abdul-Malik. Ia berniat untuk tidur.
Pada saat itulah anaknya yang berusia 15 tahun, Abdul-Malik masuk melihat ayahnya dan berkata, "Apakah yang sedang engkau lakukan wahai Amirul Mukminin?".
Umar menjawab, "Wahai anakku, ayahmu letih mengurusi jenazah bapak saudaramu dan ayahmu tidak pernah merasakan keletihan seperti ini".
"Jadi apa engkau akan buat wahai ayah?", Tanya anaknya ingin tahu.
Umar membalas, "Ayah akan tidur sebentar hingga masuk waktu zuhur, kemudian ayah akan keluar untuk salat bersama rakyat".
Apa pula kata anaknya apabila mengetahui ayahnya Amirul Mukminin yang baru “Ayah, siapa pula yang menjamin ayah masih hidup sehingga waktu zuhur nanti sedangkan sekarang adalah tanggungjawab Amirul Mukminin mengembalikan hak-hak orang yang dizalimi” Umar ibn Abdul Aziz terus terbangun dan membatalkan niat untuk tidur, beliau memanggil anaknya mendekati beliau, mengucup kedua belah mata anaknya sambil berkata “Segala puji bagi Allah yang mengeluarkan dari keturunanku, orang yang menolong aku di atas agamaku”

KISAH TELADAN UMAR BIN ABDUL AZIZ DAN LAMPU ISTANA

Suatu malam, Umar bin Abdul Aziz terlihat sibuk merampungkan sejumlah tugas di ruang kerja istananya. Tak dinyana, putranya masuk ruangan dan hendak membicarakan sesuatu.

”Untuk urusan apa putraku datang ke sini: urusan negarakah atau keluargakah?” tanya Umar.

”Urusan keluarga, ayahanda,” jawab si anak.

Tiba-tiba Umar mematikan lampu penerang di atas mejanya. Seketika suasana menjadi gelap.

”Kenapa ayah memadamkan lampu itu?” tanya putranya merasa heran.

”Putraku, lampu yang sedang ayah pakai bekerja ini milik negara. Minyak yang digunakan juga dibeli dengan uang negara. Sementara perkara yang akan kita bahas adalah urusan keluarga,” jelas Umar.

Umar kemudian meminta pembantunya mengambil lampu dari ruang dalam.

"Nah, sekarang lampu yang kita nyalakan ini adalah milik keluarga kita. Minyaknya pun dibeli dengan uang kita sendiri. Silakan putraku memulai pembicaraan dengan ayah."

KEJAYAAN KEPEMIMPINAN UMAR BIN ABDUL AZIZ

Perlu diingat bahwa berdirinya Bani Umayyah, ketika itu umat islam terpecah menjadi beberapa kelompok, dan muncul beberapa aliran yang saling menjatuhkan satu sama lain diantara mereka terkait masalah pemerintahan, terutama aliran yang muncul dari kalangan pendukung keluarga Ali bin Abi Thalib. Sehingga ketika diangkatnya Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah bani Umayyah menggantikan Sulaiman, beliau menyatakan bahwa memperbaiki dan meningkatkan negeri yang berada di wilayah islam lebih baik dari pada menambah perluasannya. Ini berarti bahwa prioritas utama adalah pembangunan dalam negri, bliau pun berhasil menjalin hubungan baik dengan golongan Syi’ah dan golongan oposisi lain. Bliau juga memberi kebebasan kepada penganut agama lain untuk beribadah sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya.
Adapun keberhasilan yang telah tercapai pada masa pemerintahannya adalah sebagai berikut:

a.   Meningkatkan  Ukhuwah Islamiyah
Dalam rangka meningkatkan rasa ukhuwah Islamiyah pertama-tama beliau melarang memusuhi keturunan Ali bin Abi Thalib. Selain itu beliau juga menghapuskan perlakuan istimewa terhadap suku bangsa Arab dan Bani Umayyah. Beliau menganggap semua suku adalah sama, yang penting mereka adalah muslim, karena yang diperlukan adalah loyalitasnya terhadap Negara dan bangsa. Dengan demikian, rasa persaudaraan akan semakin terjalin keakraban dan tidak saling memusuhi.
    
b.    Cinta Terhadap Ilmu Pengetahuan
Pada masa kepemimpinan beliau perkembangan dan kemajuan bidang ilmu pengatahuan semakin meningkat, terutama dalam bidang ilmu pengatahuan agama.
Sejak kecil beliau sudah belajar dan mempelajari isi kandungan Al-Qur’an. Bahkan tidak hanya sampai disitu saja, beliau juga mempelajari hadits-hadits dan menyaringnya, sebab ada kemungkinan hadits-hadits yang beredar pada saat itu banyak yang dimanipulasi demi kepentingan Negara.
Penerjemahan buku-buku yang dilakukan secara besar-besaran, baik buku tentang ilmu pengetahuan agama maupun ilmu pengetahuan umum, menjadikan perkembangan dan kemauan ilmu pengetahuan semakin maju dan berkembang.

c.    Perbaikan Ekonomi
Dalam memperbaiki ekonomi negara, beliau telah membatalkan ketetapan hadiah atas tanah dan kekayaan Negara yang telah diberikan khalifah sebelumnya kepada orang-orang tertentu. Semua harta kekayaan tertentu diambil kembali oleh Negara dan dijadikan harta kekayaan “Baitul Mal”. Selain itu ketetapan pajak yang telah dilakukan oleh Gubernur Hajjaj bin Yusuf di Irak dan Iran dibatalkan. Karena pajak yang diberlakukan oleh kedua Gubernur ini menurut beliau sebuah pendzaliman terhadap rakyat sendiri.
Tidak hanya itu, beliau juga melakukan perbaikan diberbagai bidang yang meliputi: pertanian, perdagangan dan pengamana lalu lintas perjalanan khalifah. Dengan demikian kebijakan yang dilakukan oleh beliau telah menstabilkan roda perekonomian masyarakat, sehingga kebutuhan sehari-hari rakyatnya bisa tercukupi.

d.    Mengadakan Penertiban Aparatur Pemerintahan
Usaha penertiban yang dilakukan oleh beliau adalah sebagai berikut:
1.    Memperkecil pengeluaran belanja negara yang tidak begitu penting dan melarang hidup bermewah-mewahan.
2.    Membasmi korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
3.    Memecat orang-orang yang tidak mempunyai loyalitas terhadap Negara.
4.    Memperbaiki gaji tentara, gubernur dan pegawai baitul mal.
Dengan adanya perbaikan gaji “Renumerasi” pegawai ini, maka para pejabat dan para pegawai tidak diperkenankan lagi mengurusi sesuatu di luar kepentingan Negara. Mereka diwajibkan mencurahkan segala perhatiaannya untuk kepentingan Negara dan rakyatnya.

HARI-HARI TERAKHIR

Umar bin Abdul-Aziz wafat disebabkan oleh sakit akibat diracun oleh pembantunya. Umat Islam datang berziarah melihat kedhaifan hidup khalifah sehingga ditegur oleh menteri kepada isterinya, "Gantilah baju khalifah itu", dibalas isterinya, "Itu saja pakaian yang khalifah miliki".
Apabila beliau ditanya “Wahai Amirul Mukminin, tidakkah engkau mau mewasiatkan sesuatu kepada anak-anakmu?”
Umar Abdul Aziz menjawab: "Apa yang ingin kuwasiatkan? Aku tidak memiliki apa-apa"
"Mengapa engkau tinggalkan anak-anakmu dalam keadaan tidak memiliki?"
"Jika anak-anakku orang soleh, Allah lah yang menguruskan orang-orang soleh. Jika mereka orang-orang yang tidak soleh, aku tidak mau meninggalkan hartaku di tangan orang yang mendurhakai Allah lalu menggunakan hartaku untuk mendurhakai Allah"
Pada waktu lain, Umar bin Abdul-Aziz memanggil semua anaknya dan berkata: "Wahai anak-anakku, sesungguhnya ayahmu telah diberi dua pilihan, pertama : menjadikan kamu semua kaya dan ayah masuk ke dalam neraka, kedua: kamu miskin seperti sekarang dan ayah masuk ke dalam surga (kerana tidak menggunakan uang rakyat). Sesungguhnya wahai anak-anakku, aku telah memilih surga." (beliau tidak berkata : aku telah memilih kamu susah)
Anak-anaknya ditinggalkan tidak berharta dibandingkan anak-anak gubernur lain yang kaya. Setelah kejatuhan Bani Umayyah dan masa-masa setelahnya, keturunan Umar bin Abdul-Aziz adalah golongan yang kaya berkat doa dan tawakkal Umar bin Abdul-Aziz.


“Puncak kejayaan di berbagai bidang tak lantas membuat Umar bin Abdul Aziz terperdaya. Meski prestasinya banyak dipuji, pemimpin berjuluk ”khalifah kelima” ini tetap bersahaja, amanah, dan sangat hati-hati mengelola aset negara”. 

Semoga kita dapat meneladani dan kita doakan agar para pejabat di negeri ini dapat mencontoh perilaku dan ketaatan dari Khalifah Umar Bin Abdul Aziz. Aamiin Yaa Rabbal 'Aalamiin