Sabtu, 10 Januari 2015

Bagaimanakah kebebasan berekspresi yang dimaksud barat ???

Penyerangan atas kantor redaksi Charlie Hebdo di Paris, Rabu, 7 Januari 2015, terhadap 12 orang diduga akibat media tersebut kerap menampilkan gambar karikatur satir tentang Nabi Muhammad. Tak lama setelah kejadian ini, berbagai elemen dari seluruh negara menyampaikan kecamannya.
Seperti dilansir bbc.co.uk/indonesia, Gedung Putih menyatakan kecaman atas serangan di kantor Charlie Hebdo. “Ini bukan hanya serangan terhadap rakyat Prancis, ini serangan terhadap nilai-nilai dasar yang kita anut di negara ini – kebebasan berbicara, kebebasan berekspresi dan kebebasan pers.” juru bicara Gedung Putih, Josh Earnest.
Tak hanya Gedung Putih, Presiden Amerika Serikat,  Barack Obama, pun secara langsung menyatakan kecaman. Dikatakannya, serangan Paris itu sebagai “visi kebencian para pembunuh.” Kanselir Jerman, Angela Merkel yang mengatakan serangan terhadap Charlie Hebdo sangat mengerikan. Begitu juga dengan yang dikatakan Wali Kota Paris Anne Hidalgo, mengeluarkan pernyataan melalui Facebook, mengecam serangan terhadap kantor Charlie Hebdo.
Inti dari seluruh kecaman menggambarkan bahwa penyerangan ini adalah tindakan barbar. Tapi, sejatinya semua ini tak lebih menggambarkan lakon memuakkan Barat yang liberal. Barat senantiasa menggunakan standar ganda.
Di satu sisi, mata dan mulut mereka berteriak keras memberikan kecaman atas penyerangan Charlie Hebdo, namun di saat yang bersamaan mereka menutup mata, telinga, dan mulutnya atas penyerangan Amerika di Irak, Afghanistan, Pakistan, dan Palestina yang hingga saat ini masih terus berlanjut dan telah menghilangkan jutaan nyawa umat Islam.
Pembelaan bertubi-tubi pun mengalir untuk Charlie Hebdo dengan alasan membela faham kebebasan. Memang benar, Charlie Hebdo dengan bebasnya berulang kali menampilkan karikatur satir menghina Islam, dengan anggapan bahwa apa yang mereka lakukan adalah semata wujud dari kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Kebebasan yang pada kenyataannya malah menghina keyakinan suci umat Islam. Seakan umat Islam tidak diperbolehkan mengekspresikan rasa marahnya, pun ketika Nabi Muhammad saw dihina; sementara yang memiliki hak untuk mengekspresikan rasa marah hanyalah Barat.
Standar Ganda Barat
Kita menyaksikan bagaimana parahnya ide kebebasan ini dipraktekkan oleh Barat. Prancis melarang para muslimah di sana mengenakan purdah, padahal bukankah hal ini adalah bagian dari kebebasan berekspresi?
Di Belanda, penyembelihan sapi dengan cara Islam dilarang, pembangunan menara masjid di Swiss juga dilarang.
Kebebasan berekspresi yang mereka agung-agungkan itu nampaknya tidak berlaku bagi umat Islam ketika menjalankan ibadah. Tidak terlalu berlebihan kiranya bila kemudian kita menilai bahwa kebebasan ini hanya dijadikan alat bagi Barat untuk melanggangkan kepentingannya, tetapi bukan untuk kebebasan mengaktualisasikan Islam.
Lalu, siapakah yang sebenarnya lebih sering menebarkan teror dan melakukan kekerasan? Mari kita lihat pembantaian di Palestina masih berlanjut, atas restu siapa? Begitu juga dengan pesawat tanpa awak Amerika menyerang perbatasan Pakistan-Afghanistan, ribuan orang tewas dan masih akan terus bertambah jumlahnya.
Bagaimana dengan kondisi Irak saat ini, siapa yang menghancurkannya? Pencarian senjata pemusnah massal yang menjadi alasan Amerika menginvasi Irak pada tahun 2003, ternyata tidak terbukti keberadaannya.
Namun akibat invasi ini, 1.5 juta orang tewas, Irak hancur berantakan baik secara sosial, politik, juga ekonomi. Bush yang saat itu memerintahkan untuk menyerang Irak, kini hidup tenang menikmati masa pensiunnya.
Bagaimana bisa seorang presiden yang memerintahkan menghancurkan sebuah negara bisa bebas begitu saja? Lalu siapa sebenarnya yang layak untuk disebut teroris dan penebar kekerasan? Wallahu’alam.
sumber : https://www.islampos.com/kebebasan-berekspresi-dan-standar-ganda-barat-157590/

Antara Zakat, Infak dan Sedekah

“DAN belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik” (Q.S. Al-Baqarah 2:195)
Dalam istilah membelanjakan harta dijalan Allah, tersebutlah tiga ibadah yaitu zakat, infak, dan sedekah. Meskipun seperti sama, beberapa ibadah tersebut ternyata memiliki makna masing-masing yang agak sedikit berbeda.
Zakat adalah nama bagi sejumlah harta tertentu yang telah mencapai syarat tertentu yang diwajibkan oleh Allah untuk dikeluarkan dan diberikan kepada yang berhak menerimanya dengan persyaratan tertentu pula.
Setiap harta yang sudah dikeluarkan zakatnya akan menjadi suci, bersih, baik, berkah, tumbuh, dan berkembang (at-Taubah: 103, dan ar-Rum: 39).
  1. Persyaratan harta yang wajib dizakatkan itu:
    Harta itu dikuasai secara penuh dan dimiliki secara sah, yang didapat dari usaha, bekerja, warisan, atau pemberian yang sah, dimungkinkan untuk dipergunakan, diambil manfaatnya, atau kemudian disimpan. Di luar itu, seperti hasil korupsi, kolusi, suap, atau perbuatan tercela lainnya, tidak sah dan tak akan diterima zakatnya. HR Muslim, Rasulullah bersabda bahwa Allah SWT tidak akan menerima zakat/sedekah dari harta yang ghulul (didapatkan dengan cara batil).
  2. Harta yang berkembang jika diusahakan atau memiliki potensi untuk berkembang, misalnya harta perdagangan, peternakan, pertanian, deposito mudharabah, usaha bersama, obligasi, dan lain sebagainya.
  3. Telah mencapai nisab, harta itu telah mencapai ukuran tertentu. Misalnya, untuk hasil pertanian telah mencapai jumlah 653 kg, emas/perak telah senilai 85 gram emas, perdagangan telah mencapai nilai 85 gram emas, peternakan sapi telah mencapai 30 ekor, dan sebagainya.
  4. Telah melebihi kebutuhan pokok, yaitu kebutuhan minimal yang diperlukan seseorang dan keluarganya yang menjadi tanggungan nya untuk kelangsungan hidupnya.
  5. Telah mencapai satu tahun (haul) untuk harta-harta tertentu, misalnya perdagangan. Akan tetapi, untuk tanaman dikeluarkan zakatnya pada saat memanennya (Q.S. Al-An’am: 141).
Perbedaan antara infak, zakat dan sedekah :
Infak berarti mengeluarkan sebagian dari harta atau pendapatan/ penghasilan untuk suatu kepentingan yang diperintahkan ajaran Islam.
Jika zakat ada nisabnya, infak tidak mengenal nisab. Jika zakat harus diberikan pada mustahik tertentu (8 asnaf) maka infak boleh diberikan kepada siapapun juga, misalnya untuk kedua orangtua, anak yatim, dan sebagainya (Q.S. Al-Baqarah: 215).
Infak dikeluarkan oleh setiap orang yang beriman,baik yang berpenghasilan tinggi maupun rendah, apakah ia di saat lapang maupun sempit (Q.S Ali Imran: 134)
Pengertian sedekah sama dengan pengertian infak,termasuk juga hukum dan ketentuan-ketentuannya. Hanya saja, jika infak berkaitan dengan materi, sedekah memiliki arti lebih luas, menyangkut hal yang bersifat non materiil. Seperti halnya, senyum saja bisa menjadi sedekah.
  1. Muslim dari Abu Dzar,Rasulullah menyatakan bahwa jika tidak mampu bersedekah dengan harta maka membaca tasbih, membaca takbir, tahmid, tahlil, berhubungan suami-isteri,dan melakukan kegiatan amar ma’ruf nahi munkar adalah sedekah.
Seringkali kata-kata sedekah dipergunakan dalam Al Qur’an, tetapi maksud sesungguhnya adalah zakat, (Q.S At-Taubah: 60 dan 103).
Jika seseorang telah berzakat tetapi masih memiliki kelebihan harta, sangat dianjurkan sekali untuk berinfak atau bersedekah.
Berinfak adalah ciri utama orang yang bertakwa (al-Baqarah: 3 dan Ali Imran: 134), ciri mukmin yang sungguh-sungguh imannya (al-Anfal: 3-4), ciri mukmin yang mengharapkan keuntungan abadi (al-Faathir: 29). Berinfak akan melipatgandakan pahala di sisi Allah (al-Baqarah: 262).
“Dan demikianlah Kami terangkan ayat-ayat Al Qur’an, (supaya jelas jalan orang-orang yang saleh) dan supaya jelas (pula) jalan orang-orang yang berdosa. (Q.S.Al An’am 6: 55).
[ds/islampos/salamsalam]

Rabu, 07 Januari 2015

Hukum Memajang Foto Makhluk Bernyawa

BAGAIMANA hukum mengenai menggambar atau memajang foto bernyawa? Dalam berbagai hadits dilarang bagi kita untuk memajang gambar makhluk bernyawa.
Gambar yang terlarang dibawa ini adalah gambar manusia atau hewan, bukan gambar batu, pohon dan gambar lainnya yang tidak memiliki ruh. Jika gambar tersebut memiliki kepala, maka diperintahkan untuk dihapus.
Karena kepala itu adalah intinya sehingga gambar itu bisa dikatakan memiliki ruh atau nyawa. Agar lebih jelas perhatikan terlebih dahulu hadits-hadits yang menerangkan hal tersebut. Hanya Allah yang beri taufik.
Keterangan dari hadits
Dalam hadits muttafaqun ‘alaih disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لاَ تَدْخُلُ بَيْتًا فِيهِ صُورَةٌ
“Para malaikat tidak akan masuk ke rumah yang terdapat gambar di dalamnya (yaitu gambar makhluk hidup bernyawa)”
Pelajaran dari hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu , menunjukkan bahwa yang dimaksud gambar yang terlarang dipajang adalah gambar makhluk bernyawa (yang memiliki ruh) yaitu manusia dan hewan, tidak termasuk tumbuhan. Sisi pendalilannya bahwa Jibril menganjurkan agar bagian kepala dari gambar tersebut dihilangkan, barulah beliau akan masuk ke dalam rumah.
Ini menunjukkan larangan hanya berlaku pada gambar yang bernyawa karena gambar orang tanpa kepala tidaklah bisa dikatakan bernyawa lagi.
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan dalam kesempatan yang lain bahwa gambar makhluk bernyawa boleh dibawa jika darurat. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin ditanya, “Dalam majelis sebelumnya, engkau katakan bahwa boleh membawa gambar dengan alasan darurat. Mohon dijelaskan apa yang jadi kaedah dikatakan darurat?”
Syaikh rahimahullah menjawab, “Darurat yang dimaksud adalah semisal gambar yang ada pada mata uang atau memang gambar tersebut adalah gambar ikutan yang tidak bisa tidak harus turut serta dibawa atau keringanan dalam qiyadah (pimpinan).
Ini adalah di antara kondisi darurat yang dibolehkan. Orang pun tidak punya keinginan khusus dengan gambar-gambar tersebut dan di hatinya pun tidak maksud mengagungkan gambar itu. Bahkan gambar raja yang ada di mata uang, tidak seorang pun yang punya maksud mengagungkan gambar itu,” (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 33)
Penjelasan hukum dalam tulisan di atas semata-mata berdasarkan dalil dari sabda Nabi kita Muhammadshallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan atas dasar logika semata. Semoga Allah menganugerahkan sifat takwa sehingga bisa menjauhi setiap larangan dan mudah dalam melakukan kebaikan.
Namun dalam pembahasannya islam membolehkan menggambar atau memajang sesuatu ciptaannya tanpa ada mengagungkan lebih dari ciptaan-Nya.[]
Sumber : www.rumaysho.com

Jumat, 02 Januari 2015

SEJARAH MAULID NABI

Bulan Rabiul Awwal merupakan bulan di mana nabi yang paling agung, nabi yang membawa risalah terakhir dilahirkan. Hampir sebagian umat Islam khususnya di Indonesia merayakan hari lahirnya sang pembawa cahaya, yang mengeluarkan umatnya dari zaman kegelapan hingga zaman terang benderang.
Kebanyakan umat Islam merayakannya sebagai ungkapan rasa syukur dan rasa cinta yang begitu besar kepada Nabi SAW. Namun, yang perlu kita ketahui pernahkah generasi awal merayakan maulid nabi. Yang sudah tentu kita tahu, bahwa generasi awal (salafussholeh) adalah generasi yang paling dekat dengan Nabi SAW. Dan mereka yang paling tahu apa yang diingikan Nabi SAW. Karena meraka selalu hidup berdampingan dengan nabi sepanjang hayatnya.
Oleh karena itu, kita dituntut untuk tahu sejarah awal mula dirayakannya maulid Nabi SAW. Karena sesuatu perkerjaan yang tidak didasarkan atas ilmu maka akan sia sia. Sebagaimana Rasullah bersabda:
“من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد”
“Barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka perbuatan tersebut tertolak,” (HR. Muslim).
Ada beberapa pendapat tentang asal mula maulid Nabi SAW. Pendapat pertama mengatakan bahwa Sholahuddin Al Ayubi yang pertama kali memulai perayaan maulid karena melihat kondisi muslimin pada waktu itu semakin jauh dengan sunah-sunah Rasullah SAW. Sedangkan para tentara salibis setiap saat siap untuk menyerang pasukan muslimin dalam sekali hantaman. Dan dengan ijtihad beliau mengadakan maulid Nabi SAW agar menumbuhkan sunah-sunah yang mulai memudar dari tubuh muslimin dan semangat juang dalam menegakkan kalimatullah.
Sedangkan pendapat kedua para ahli sejarah seperti Ibn Khallikan, Sibth Ibn al-Jauzi, Ibn Kathir, al-Hafizh al-Sakhawi, al-Hafizh al-Suyuthi dan lainnya telah bersepakat menyatakan bahwa orang yang pertama kali mengadakan peringatan maulid adalah Sultan al-Muzhaffar, bukan Shalahuddin al-Ayyubi.
Sebagaimana yang ditulis oleh ibn Khallikan dalam kitabnya Wafayat Al-A`yan menceritakan bahwa Al-Imam Al-Hafizh Ibn Dihyah datang dari Maroko menuju Syam dan seterusnya ke Irak. Ketika melintasi daerah Irbil pada tahun 604 Hijriah, beliau mendapati Sultan Al-Muzhaffar, raja Irbil tersebut sangat besar perhatiannya terhadap perayaan Maulid Nabi.
Imam Suyuthi dalam kitabnya Husn Al-Maqosid fi Amal Al-Maulid menerangkan bahwa orang yang pertama kali menyelenggarakan maulid Nabi adalah Sultan Al-Muzhaffar, penguasa dari negeri Irbil yang terkenal loyal dan berdedikasi tinggi. Mudzorofah pernah menghadiahkan sepuluh ribu dinar kepada Syekh Abu Al-Khatib Ibnu Dihyah yang telah berhasil menyusun sebuah buku riwayat hidup dan risalah Rasulullah dengan judul At-Tanwir fi Maulid Al-Basyir Al-Nazir.
Pada masa Abbasiyah, sekitar abad kedua belas masehi, perayaan maulid Nabi dilaksanakan secara resmi yang dibiayai dan difasilitasi oleh khalifah dengan mengundang penguasa lokal. Acara itu diisi dengan puji-pujian dan uraian maulid Nabi, serta dilangsungkan dengan pawai akbar mengelilingi kota diiringi pasukan berkuda dan angkatan bersenjata.
Sedangkan pendapat yang ketiga para ahli sejarah seperti Al Maqriziy serta mufti mesir Asy Syaikh Bakhit Al Muti’iy dan juga Asy Syaikh ‘Ali Mahfuzh mengatakan bahwa kelompok yang pertama kali mengadakan maulid Nabi SAW adalah Firqoh sesat Syiah Ubaidiyyun pada dinasti fatimiyah sebagaimana yang beliau tuliskan pada kitabnya Al Ibda’ fi Madhoril Ibtida’.
Dari beberapa pendapat kita dapat menyimpulkan bahwa perayaan maulid tidak dilaksanakan di masa Rasulullah dan sahabatnya. Tidak juga di masa tabi’in, tabi’ut tabi’in dan empat Imam Madzhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad), padahal mereka adalah orang-orang yang sangat cinta dan mengagungkan Nabinya. Dan sebaliknya bahwa perayaan maulid baru dimulai pada masa mamalik (kerajaan) sekitar abad ke-7 Hijriyah di saat firqoh-firqoh sesat subur berkembang di masa itu. Wallahu a’lam. []

sumber : https://www.islampos.com/berdasarkan-pendapat-ahli-sejarah-ini-awal-mula-perayaan-maulid-nabi-155751/